Reformasi Ketatanegaraan Indonesia

Tanggal 28 Oktober adalah hari yang sangat bersejarah bagi Bangsa Indonesia. 89 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 28 Oktober 1928, para pemuda dari berbagai kalangan melakukan Kongres Pemuda II di Jakarta. Kongres tersebut dihadiri oleh berbagai wakil organisasi kepemudaan yaitu Jong Java, Jong Batak, Jong, Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Ambon, dsb serta pengamat dari pemuda tiong hoa seperti Kwee Thiam Hong, John Lauw Tjoan Hok, Oey Kay Siang dan Tjoi Djien Kwie.

Hasil penting dari konggres ini adalah lahirnya Sumpah Pemuda yang merupakan pengakuan dari Pemuda-Pemudi Indonesia untuk mengikrarkan satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa. Sumpah Pemuda adalah satu tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ikrar ini dianggap sebagai kristalisasi semangat untuk menegaskan cita-cita berdirinya negara Indonesia.

Pada peringatan Hari Sumpah Pemuda yang ke-89, tanggal 28 Oktober 2017, Menpora menyerukan untuk mengusung tema “Pemuda Indonesia Berani Bersatu”. Bersatu padu, mengeliminir segala perbedaan suku, agama, dan ras, menggelorakan semangat revolusioner menegakkan kebenaran dan keadilan.

Sejarah membuktikan, para pemuda-lah yang berperan aktif dalam berbagai peristiwa penting bangsa Indonesia: Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi 1945, Aksi Tritura 1966, Reformasi 1998. Pada peristiwa yang terakhir ini, para pemuda mencetuskan 6 tuntutan reformasi: penegakan supremasi hukum, pemberantasan kkn, mengadili soeharto dan kroninya, amandeman konstitusi, pencabutan dwifungsi TNI/Polri, pemberian otonomi daerah seluas-luasnya. Sebagai pemuda harapan bangsa, sudah barang tentu terpanggil hatinya untuk mengawal reformasi 1998 itu agar tidak keluar dari jalurnya.

Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945. Amandemen ini didasari oleh berbagai pertimbangan filosofis, historis, yuridis, sosiologis, politis, dan teoritis. Salah satu alasan historis yang diketengahkan untuk melakukan amandeman terhadap UUD 1945 dilatar belakangi oleh praktek penyelenggaraan negara pada masa pemerintahan rezim Suharto yang otoriter sentralistik dengan menggunakan Undang-Undang Dasar sebagai instrumen untuk melanggengkan kekuasaannya. Selain itu gagasan untuk mengubah UUD 1945 mendapat dukungan luas dari berbagai lapisan masyarakat.

Majelis Permusyawaratan Rakyat telah bekerja selama 4 tahun mulai tahun 1999 sampai 2002, menghasilkan 4 kali Amandemen UUD 1945. Akan tetapi, amandemen yang dilakukan MPR tersebut masih menyisakan banyak masalah. Ginandjar Kartasasmita, Ketua DPD RI masa bakti 2004-2009, dalam kata sambutannya pada buku Konstitusi RI Menuju Perubahan Ke-5 antara lain mengemukakan ”Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah dilakukan 4 kali ternyata masih menyisakan banyak kelemahan dan inkonsistensi, serta ketidaklengkapan sehingga membutuhkan peninjauan kembali…” (DPD RI 2009:iv).

Centre for Strategic and International Studies (CSIS) juga memberikan beberapa catatan terhadap perubahan UUDNRI Tahun 1945 (DPD RI 64-66), yang intinya sebagai berikut (1) perubahan UUDNRI Tahun 1945 yang dilakukan oleh MPR tidak lagi dapat disebut sebagai amandemen melainkan sudah merupakan penggantian (alternation); (2) baik ditinjau dari aspek landasan filosofis maupun ketatanegaraan, sistem politik dan pemerintahan, hasil perubahan yang dilakukan oleh MPR sangat membingungkan; (3) berkaitan dengan sistem politik khususnya pelaksanaan kedaulatan ditemui kerancuan; (4) MPR tidak tegas menetapkan sistem pemerintahan yang dianut, apakah sistem presidensial atau parlementer murni atau semu; (5) kesimpulannya empat kali perubahan UUDNRI Tahun 1945 oleh MPR justru menciptakan sistem politik dan sistem ketatanegeraan Indonesia yang tidak jelas dan menghasilkan rumusan pasal-pasal yang multi interpretatif, sehingga dapat menimbulkan instabilitas hukum maupun politik.

Kritik yang cukup keras juga dilontarkan oleh budayawan Emha Ainun Nadjib, yang lebih akrab disapa  Cak Nun. Segala macam kesemrawutan di negeri ini, merujuk pendapat Cak Nun, adalah karena kita tidak memahami beda antara negara dengan pemerintah. Selama ini kita menganggap bahwa negara sama dengan pemerintah. Dalam satu kesempatan, Cak Nun menulis, “Sampai hari ini kita masih belum benar-benar beradab, karena membiarkan posisi rancu antara Negara dengan Pemerintah. ” [1]. Bagi Cak Nun, membedakan antara negara dan pemerintahan sangat penting dalam mengurai benang kusut permasalahan bangsa ini.

Agar lebih mudah memahaminya, Cak Nun memberikan analogi seperti rumah tangga dan keluarga. Kepala keluarga ialah bapak sedangkan kepala rumah tangga adalah ibu. Keduanya memiliki kas keuangan sendiri-sendiri. Sebagian dari kas bapak diberikan ke kas ibu untuk keperluan rumah tangga, tapi penghasilan bapak dari kantor masuk ke kas keluarga. [2]

“Nah, di Indonesia tidak ada bedanya rumah tangga dan keluarga. Jadi kepala keluarga adalah kepala rumah tangga di Indonesia.”, kata Cak Nun. [2]

Cak Nun kemudian mengajak merefleksikan kembali filsafat kenegaraan para leluhur di zaman Majapahit. Negara yang pada masa itu dipimpin misalnya oleh Hayam Wuruk bertugas mengkoordinasikan kebijakan-kebijakan dan menyusun sistem kontrol. Adapun Gadjah Mada merupakan perdana menteri yang bertugas sebagai eksekutor dari kebijakan-kebijakan Hayam Wuruk. Sehingga, Gadjah Mada berposisi diawasi oleh sistem kontrol negara yang dipimpin oleh Hayam Wuruk. [2]

Melihat berbagai kesemrawutan sistem ketatanegaraan ini, lahirlah gagasan untuk melakukan  Reformasi Ketatanegaraan Indonesia yang berisi berbagai hal yang perlu diperbaiki dari Sistem Ketetanegaraan Indonesia dengan memperhatikan berbagai kritik yang ada dan merumuskan suatu Sistem Ketetanegaraan Indonesia yang baru yang lebih adil untuk semua golongan, suku, agama, dan ras.

PEMISAHAN KEKUASAAN PRESIDEN DAN PERDANA MENTERI

UUD45 memberikan kekuasan kepada Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan [3]. Inilah yang menurut Cak Nun menjadi sumber segala kesemrawutan di negara kita. Oleh karena itu diperlukan pemisahan diantara keduanya dengan membuat nomenklatur baru dimana Presiden adalah kepala negara dan Perdana Menteri adalah kepala pemerintahan.

  • Presiden adalah salah satu representasi dari kedaulatan rakyat yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum tanpa melibatkan partai politik. Hal ini untuk menjamin Presiden yang terpilih tidak terjebak dalam kontrak politik dengan parpol.
  • Kekuasaan Presiden adalah kekuasaan tertinggi. Presiden hanya dapat dijatuhkan melalui mekanisme referendum.
  • Kandidat presiden adalah mereka yang telah mencapai derajat Manunggaling Kawula Gusti [6], yang dibuktikan dengan surat pernyataan dari 3 orang pemuka agama yang telah kasyaf.
  • Jika tidak terdapat kandidat yang dimaksud, maka jabatan presiden dikembalikan kepada presiden sebelumnya, atau ditunjuk beberapa orang sebagai pejabat sementara.
  • Yang dipilih sebagai Presiden hendaklah orang yang memiliki sifat kenegarawanan, karena ia menjadi simbol negara dan simbol pemersatu bangsa. Sementara itu yang ditunjuk sebagai Perdana Menteri adalah tokoh partai politik.
  • Presiden adalah orang non partai, karena ia harus memposisikan diri di atas semua partai politik. Jika tokoh partai politik mencalonkan diri sebagai Presiden, maka ia harus melepaskan jabatannya di kepartaian.
  • Presiden bertugas mengkoordinasikan kebijakan-kebijakan dan menyusun sistem kontrol. Adapun Perdana Menteri yang bertugas sebagai eksekutor dari kebijakan-kebijakan Presiden.

PEMISAHAN LEMBAGA NEGARA DAN PEMERINTAH

Sumber kesemrawutan lainnya, menurut Cak Nun, adalah pemanfaatan lembaga negara untuk kepentingan sesaat pemerintah. Oleh karena itu perlu ditinjau kembali seluruh lembaga negara dan lembaga pemerintah yang ada saat ini dan kemudian dikelompokkan mana yang hakekatnya adalah lembaga negara dan mana yang hakekatnya adalah lembaga pemerintah. Selanjutnya semua lembaga negara diletakkan dibawah kontrol Presiden, dan semua lembaga pemerintah dibawah kontrol Perdana Menteri.

  • Seluruh kekayaan negara dikelola oleh sebuah Badan Pengelola Kekayaan Negara yang bertanggung jawab kepada Presiden.
  • Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara (dalam hal ini wewenang diberikan kepada Badan Pengelola Kekayaan Negara) dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
  • Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara (dalam hal ini wewenang diberikan kepada Badan Pengelola Kekayaan Negara).
  • Semua tanah dan gedung yang saat ini dikuasai oleh pemerintah, hendaknya dikembalikan kepada negara untuk dikelola oleh badan ini. Hak Pemerintah hanyalah menggunakan, bukan memiliki; dengan demikian pemerintah tidak berhak untuk menjual tanah dan gedung.
  • BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dari namanya saja sudah jelas ia adalah lembaga negara. Lembaga ini harus berada dalam kendali Presiden melalui Badan Pengelola Kekayaan Negara, bukan Perdana Menteri. BUMN seharusnya menyetorkan penghasilannya kepada Kas Negara, bukan kepada Kas Pemerintah (Kementerian Keuangan) [2].
  • Perdana Menteri tidak memiliki kewenangan apapun terhadap BUMN. Dengan demikian Perdana Menteri tidak berhak mengangkat seseorang menjadi komisaris sebuah BUMN, atau menjual BUMN.

DEWAN PERTAHANAN NEGARA

Menurut Cak Nun, Abri dan Kepolisian merupakan salah satu dari Lima Pilar NKRI [4]. Untuk itu, kita perlu mendudukkan lembaga ini sejajar dengan pemerintah.

  • Abri dan Kepolisian dipisahkan dengan pemerintah dan berada dalam koordinasi Dewan Pertahanan Negara yang bertanggung jawab kepada Presiden.
  • Kedudukan Ketua Dewan Pertahanan Negara sejajar dengan Perdana Menteri.
  • Kementerian Pertahanan ditiadakan, dilebur kedalam Dewan Pertahanan Negara

LEMBAGA LEGISLATIF

Kita perlu melakukan revitalisasi lembaga legislatif (DPR) agar lebih fokus kepada fungsinya dalam melakukan legislasi (menyusun undang-undang), anggaran (menetapkan anggaran pendapatan dan belanja pemerintah), dan pengawasan (melakukan pengawasan terhadap pemerintahan dalam menjalankan undang-undang).

  • Kekuasaan legislatif dipegang oleh DPR yang bertanggung jawab kepada Presiden. Presiden dapat membubarkan DPR jika dianggap membahayakan negara dan memerintahkan diadakannya pemilihan umum baru untuk memilih anggota DPR baru.
  • Kedudukan Ketua DPR sejajar dengan Perdana Menteri. Dengan demikian kekuasaan legislatif sejajar posisinya dengan kekuasaan eksekutif dan tidak dapat saling menjatuhkan satu sama lain.
  • DPR adalah salah satu perwujudan dari kedaulatan rakyat. Oleh karena itu hendaknya terdapat mekanisme yang memungkinkan DPR dapat menyerap semua aspirasi rakyat dan rakyat dapat memonitor kerja DPR.
  • Anggota DPR yang telah diangkat tidak dapat diberhentikan atau di-recall oleh partai pengusungnya dengan alasan apapun.
  • Pemilihan jabatan di dalam DPR tidak didasarkan kepada jumlah suara yang didapat oleh partai politik, melainkan dilakukan berdasarkan mekanisme internal DPR.
  • Semua undang-undang yang dihasilkan oleh DPR tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama manapun. Untuk menjamin hal ini, maka DPR harus melibatkan para pemuka agama dalam setiap perumusan perundang-undangan. [5]
  • Hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat adalah hak yang melekat pada masing-masing anggota DPR. Dengan demikian, seorang anggota DPR dapat meminta keterangan dari seorang pejabat pemerintah, dan kemudian mengajukan rapat pleno kepada DPR untuk melakukan pembahasan atas temuan anggota DPR ini.
  • Sebaliknya, rakyat & pejabat pemerintah dapat mengajukan gugatan kepada anggota DPR kepada pengadilan jika terdapat dugaan penyalahgunaan kewenangannya dan pengadilan dapat mencabut keanggotaan DPR jika terbukti benar.

LEMBAGA YUDIKATIF

  • Kekuasaan kehakiman dipegang oleh Mahkamah Agung yang bertanggung jawab kepada Presiden.
  • Kedudukan Ketua Mahkamah Agung sejajar dengan Perdana Menteri. Dengan demikian kekuasaan yudikatif sejajar posisinya dengan kekuasaan eksekutif dan tidak dapat saling menjatuhkan satu sama lain.

AGAMA DAN LEMBAGA KEAGAMAAN

Menurut Cak Nun, Lembaga Agama merupakan salah satu dari Lima Pilar NKRI [4]. Untuk itu kita perlu menumbuhkembangkan kehidupan beragama dan menjadikan agama sebagai ruh semua perundang-undangan yang berlaku. Revitalisasi lembaga agama dilakukan dengan cara memisahkannya dari kekuasaan pemerintahan.

  • Negara mengakui adanya agama dan mendorong penduduknya untuk beragama sesuai dengan keyakinannya masing-masing.
  • Negara hendaknya merumuskan agama apa saja yang dianggap sah dan kemudian menjamin kemerdekaan warga negara untuk memeluk agama yang diyakininya.
  • Negara hendaknya membantu tumbuhkembangnya kehidupan beragama dengan mendirikan berbagai sarana dan prasarana ibadah setiap agama yang sah secara adil dan merata.
  • Negara hendaknya juga menjadi pengayom/pelindung bagi terselenggaranya kehidupan beragama.
  • Negara harus mengatur berbagai gesekan yang mungkin timbul, seperti pendirian rumah ibadah, tatacara penyebaran agama yang tidak merugikan agama lain, dsb.
  • Negara harus bertindak adil terhadap semua agama dan tidak hanya mengutamakan agama mayoritas.
  • Lembaga Keagamaan hendaknya tidak berada dalam tubuh pemerintah, dengan demikian Kementerian Agama seharusnya dibubarkan.
  • Pembubaran Lembaga Kegamaan hanya bisa dilakukan melalui persidangan.
  • Pengelolan Haji (termasuk dana haji) seharusnya dikembalikan kepada umat (Lembaga Agama).
  • Segenap hukum dan undang-undang yang berlaku di negara ini tidak boleh ada yang bertentangan dengan agama manapun. Untuk menjamin hal ini, maka negara harus melibatkan para pemuka agama dalam setiap perumusan hukum dan perundang-undangan. [5]

BUDAYA, KERAJAAN, KESULTANAN DAN PEMANGKU ADAT

Menurut Cak Nun, Kerajaan Dan Kesultanan merupakan salah satu dari Lima Pilar NKRI [4]. Untuk itu, kita perlu melakukan revitalisi fungsi Kerajaan Dan Kesultanan sebagai penjaga budaya bangsa.

  • Seluruh Kerajaan, Kesultanan, dan pemangku adat yang ada di Indonesia berada dalam koordinasi Dewan Kerajaan yang dipimpin oleh Presiden.
  • Presiden sekaligus menjadi maharaja di Indonesia, membawahi semua kerajaan dan kesultanan.
  • Dewan Kerajaan bertanggung jawab menjaga warisan sejarah dan budaya semua kerajaan dan kesultanan.

PENUTUP

Sebagai tindak lanjut dari reformasi ketatanegaraan ini, disiapkanlah Draft Pedoman Ketatanegaraan Indonesia yang berisi prinsip-prinsip ketatanegaraan, pedoman dalam melakukan ratifikasi hukum Internasional, dan mekanisme pokok lainnya dalam penyelenggaraan negara. Draft Pedoman Ketatanegaraan Indonesia ini berposisi di bawah Pancasila dan di atas Undang-undang Dasar.

Selanjutnya, untuk mengatur Negara dan Pemerintah Republik Indonesia dibuatlah Draft Undang-Undang Dasar baru yang dibuat berdasarkan Draft Pedoman Ketatanegaraan Indonesia. Draft Undang-Undang Dasar ini dibuat lebih detail daripada UUD hasil amandemen, yang membuatnya lebih kokoh dan sulit untuk dibelokkan arah kebijakannya; akan tetapi Draft Undang-Undang Dasar ini juga memungkinkan diubah dikemudian hari disesuaikan dengan tantangan masa depan bangsa Indonesia dengan tetap mengacu kepada Draft Pedoman Ketatanegaraan Indonesia. Untuk lebih memahami pemikiran-pemikiran yang tertuang dalam Draft Undang-undang Dasar baru ini, telah disiapkan pula Draft Pokok-pokok Pikiran yang terkandung Dalam Undang-undang Dasar.

Sekalipun sudah mendesak kiranya kita melakukan reformasi ketatanegaraan untuk mewujudkan sistem ketatanegaraan yang lebih sesuai bagi bangsa yang berjatidiri garuda [7], namun saat ini bukanlah saat yang tepat untuk melakukan hal itu. Suatu saat nanti, ketika burung garuda bangkit dari tidur panjangnya dan membawa serta para pemuda generasi cahaya yang berhati suci, ksatria, jujur, dan adil, itulah saatnya.

Semoga kita diberi umur panjang untuk menyaksikan era baru itu bersama-sama. 

CRM-28.10-2017

CATATAN KAKI

[1] Pamangku Buwono Mamayu Bawono.
[2] Cak Nun: Ada Kebingungan Sistemik dalam Formula Kenegaraan Kita.
[3] Tugas Pokok dan Fungsi Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif.
[4] Lima pilar NKRI menurut Cak Nun: 1. Rakyat, 2. Kaum Intelektual, 3. Tentara Rakyat, 4. Kerajaan & Kesultanan, 5. Lembaga Agama.
[5] Prinsip Ketuhanan Menurut Bung Karno.
[6] Manunggaling Kawula Gusti.
[7] Belajar dari Kisah Garuda di Candi Kidal.

PRANALA