Indonesia Belum Merdeka

Sekalipun kita sudah memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, faktanya bangsa Indonesia belum sepenuhnya bebas dari panjajahan gaya baru (neokolonialisme) dengan jubah neoliberalisme dan globalisasi.

Dulu penjajahan dilakukan dengan menghadirkan penjajah beserta seluruh perangkat kerasnya. Sekarang penjajahan itu bisa dilakukan tanpa menghadirkan tentara dan penjajah, namun cukup dilakukan secara remotely controlled dengan menghadirkan seperangkat instrumen. Sang Penjajah cukup duduk-duduk manis di rumah sambil memainkan tombol “remote”. Instrumen itu berupa regulasi internasional dan nasional, sekaligus kelembagaannya.

Beberapa tokoh berikut secara terbuka mengatakan bahwa Indonesia saat ini masih berada dalam genggaman neokolonialisme: Bung Karno (Presiden Pertama Indonesia), Cak Nun (budayawan), Kwik Kian Gie (Ahli Ekonomi), Rizal Ramli (Ahli Ekonomi), Revrisond Baswir (Ahli Ekonomi), Ahmad Basarah (Anggota MPR), Connie Rahakundini Bakrie (Pengamat Pertahanan dan Militer), Prabowo Subianto (Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra), Daniel Mohammad Rosyid (Guru Besar ITS Surabaya), Edy Mulyadi (Direktur CEDeS), Kiki Syahnakri (Ketua Dewan Pengkajian Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat).

Dari berbagai studi oleh para ahli sejarah, baik dalam maupun luar negeri yang boleh dikatakan obyektif, sejak tahun 1967 kita sudah tidak mandiri. Ketidakmandirian kita sudah mencapai puncak setelah kita dilanda krisis pada tahun 1997. Jauh sebelum itu, tetapi menjadi sangat jelas setelahnya, dapat kita lihat hubungan yang sangat erat antara kebijakan Pemerintah Indonesia dan apa yang tercantum dalam country strategy report yang disusun oleh Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, serta segala sesuatu yang didiktekan kepada Pemerintah Indonesia dalam bentuk Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP), yang lebih dikenal dengan sebutan Letter of Intent. [1]

Di tahun 1967, tepatnya di bulan November dilakukan pertemuan di Jenewa antara Pemerintah Indonesia dengan para kapitalis dunia yang disponsori oleh The Time-Life Corporation. Dalam pertemuan 3 hari itu, delegasi Indonesia diwakili oleh para ekonom top Indonesia yang dikemudian hari disebut sebagai Mafia Berkeley dan dipimpin oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Di seberang meja, duduk para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller.

Semua raksasa korporasi Barat diwakili: perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel.

Di hari kedua pertemuan itu, para peserta dibagi ke dalam lima seksi : pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar lain, perbankan dan keuangan di kamar lain lagi; yang dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya.

Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke meja yang lain, mengatakan : “ini yang kami inginkan : ini, ini dan ini”, dan mereka pada dasarnya merancang infrastruktur hukum untuk berinvestasi di Indonesia. Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global duduk dengan para wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya sendiri.

Hasilnya: Freeport mendapatkan bukit (mountain) dengan tembaga di Papua Barat (Henry Kissinger duduk dalam board). Sebuah konsorsium Eropa mendapat nikel Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapat bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatra, Papua Barat dan Kalimantan. [1]

Perangkat hukum-pun disiapkan untuk mengawal datangnya investasi asing itu dengan diterbitkannya UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Undang-undang ini memperbolehkan perusahaan patungan swasta Indonesia dan swasta asing untuk memiliki dan menguasai bidang-bidang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak: pelabuhan; produksi, transmisi, dan distribusi tenaga listrik untuk umum; telekomunikasi; pelajaran; penerbangan; air minum; kereta api umum; pembangkitan tenaga atom; media massa.

Dalam UU nomor 1 tahun 1967 itu masih belum ada ketentuan berapa persen asing boleh memilikinya. Setahun kemudian, lahir UU nomor 6 tahun 1968 yang memperbolehkan investor asing memasuki cabang-cabang produksi yang jelas disebut ”menguasai hajat hidup orang banyak” asalkan porsi asing tidak melampaui 49 persen.

Tahun 1994 terbit PP No 20, antara lain menyebutkan perusahaan patungan, tanpa menyebut berapa porsi asing, ”dapat melakukan kegiatan usaha yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak: pelabuhan; produksi, transmisi, dan distribusi tenaga listrik untuk umum; telekomunikasi; pelayaran; penerbangan; air minum; kereta api umum; pembangkit tenaga atom; dan media massa.

Kebijakan orde baru yang sangat lunak kepada investasi asing, membuka keran liberalisasi sebesar mungkin dan sebebas-bebasnya serta pendekatan pemerintahan yang militeristik berhasil membawa Indonesia keluar dari keterpurukan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi lebih dari 10% di tahun 1968, dan sampai tahun 1982, pertumbuhan ekonomi tahunan selalu di atas 5%. Fakta lain yang juga penting adalah Indonesia diuntungkan secara siginifikan dari dua “oil boom” yang terjadi di tahun 1970-an.

Buah pahit kebijakan orde baru mulai terasa pada tahun 1990-an: kebijakan neo-liberal melahirkan kesenjangan ekonomi, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin, kolusi, korupsi dan nepotisme tumbuh subur. Puncaknya terjadi di bulan juli 1997 ketika krisis keuangan melanda asia dan yang terkena dampak paling buruk adalah Indonesia, Korea Selatan, dan Thailand.

Tak ada yang menyangka efek krisis regional akan separah itu menghantam Indonesia. Apalagi ketika itu, Indonesia dinilai lebih siap menghadapi krisis moneter ketimbang Thailand.

Pada Agustus 1997 pemerintah membuat keputusan drastis seperti pengalihan dana BUMN dari bank-bank komersil ke SBI dan menaikkan tingkat suku bunga SBI yakni 30 persen untuk satu bulan dan 28 persen untuk tiga bulan. Sayangnya kebijakan pemerintah ini malah membuat persepsi negatif pasar sehingga memicu pembelian dolar AS secara masif. Sampai akhirnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus merosot hingga tembus Rp 3.100 per USD atau terdepresiasi hingga 32 persen sejak Januari 1997.

Sampai akhir 1997, posisi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS naik turun. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus meluncur hingga mencapai Rp 17.000 per USD pada 22 Januari 1998. Krisis bahan pokok juga terjadi. Pengangguran makin meningkat, dari 4,68 juta pada 1997 menjadi 5,46 juta pada 1998.

Krisis ini menyebabkan Presiden Soeharto meminta Dana Moneter Internasional (IMF) untuk ikut membantu. Namun, IMF tidak dapat membantu. Krisis berlanjut, yang menyebabkan 16 bank harus ditutup. Setelah berbagai peristiwa panjang, baik itu aksi demonstrasi yang menuntut Soeharto mundur hingga kerusuhan disertai kekerasan yang berbasis prasangka rasial, Soeharto pun mengakhiri masa kekuasaannya pada 21 Mei 1998.

Memasuki masa reformasi, Ekonomi Indonesia mulai membaik kembali, tetapi berbagai kebijakan pro-neolib makin menjadi-jadi. Amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali dari tahun 1999 hingga 2002 telah memunculkan banyak polemik di bangsa ini.

Sebab, amandemen itu menjadi pintu masuk neoliberalisme dalam sendi-sendi kehidupan negara. “Jelas, UUD amandemen ini pintu masuk neoliberalisme. Ini bukan melahirkan demokrasi tetapi anarki,” tegas mantan Menko Ekuin Kwik Kian Gie di kediaman ekonom senior Rizal Ramli, Senin (23 April 2018). [2]

Kekuatiran yang sama disuarakan oleh anggota MPR Ahmad Basarah, di depan peserta Training of Trainers 4 Pilar di lingkungan TNI dan Polri di Bandung, ia mengatakan, bahwa bangsa ini secara ekonomi sudah dijajah oleh kapitalisme global. Dia mengatakan, bahwa tak hanya dalam soal kepemimpinan yang sudah terkontaminasi unsur kapitalisme, namun saat ini juga ada sekitar 173 undang-undang yang berpihak pada asing dan tak sesuai dengan Pancasila (29/8/2015) [3].

Akankah krisis ekonomi dan politik akan berulang kembali? Kiranya waktu yang akan membuktikannya.

(CRM-30.08.2018)

RUJUKAN

[1] Kwik Kian Gie: Proses Terjajahnya Kembali Indonesia Sejak Bulan November 1967
[2] Kwik Kian Gie: Amandemen UUD Pintu Masuk Neoliberalisme
[3] Ahmad Basarah: Secara Ekonomi, Indonesia Dijajah Kapitalisme Global