Kritik Atas Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945. Amandemen ini didasari oleh berbagai pertimbangan filosofis, historis, yuridis, sosiologis, politis, dan teoritis. Salah satunya adalah alasan historis dilatar belakangi oleh praktek penyelenggaraan negara pada masa pemerintahan rezim Suharto yang otoriter sentralistik dengan menggunakan Undang-Undang Dasar sebagai instrumen untuk melanggengkan kekuasaannya. Selain itu gagasan untuk mengubah UUD 1945 mendapat dukungan luas dari berbagai lapisan masyarakat.

Majelis Permusyawaratan Rakyat telah bekerja selama 4 tahun mulai tahun 1999 sampai 2002, menghasilkan 4 kali Amandemen UUD 1945. Akan tetapi, amandemen yang dilakukan MPR tersebut ternyata masih menyisakan banyak masalah. Ginandjar Kartasasmita, Ketua DPD RI masa bakti 2004-2009, dalam kata sambutannya pada buku Konstitusi RI Menuju Perubahan Ke-5 antara lain mengemukakan ”Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah dilakukan 4 kali ternyata masih menyisakan banyak kelemahan dan inkonsistensi, serta ketidaklengkapan sehingga membutuhkan peninjauan kembali…” (DPD RI 2009:iv). [1]

Artikel ini ditujukan untuk mengumpulkan berbagai kritik atas sistem ketatanegaraan Indonesia, yang dengan demikian dapat dijadikan acuan dalam membuat sistem ketatanegaraan yang lebih baik di masa yang akan datang, sejalan dengan gagasan Reformasi Ketatanegaraan Indonesia.

CATATAN CSIS

Centre for Strategic and International Studies (CSIS) memberikan beberapa catatan terhadap perubahan UUDNRI Tahun 1945 (DPD RI 64-66), yang intinya sebagai berikut

  1. perubahan UUDNRI Tahun 1945 yang dilakukan oleh MPR tidak lagi dapat disebut sebagai amandemen melainkan sudah merupakan penggantian (alternation);
  2. baik ditinjau dari aspek landasan filosofis maupun ketatanegaraan, sistem politik dan pemerintahan, hasil perubahan yang dilakukan oleh MPR sangat membingungkan;
  3. berkaitan dengan sistem politik khususnya pelaksanaan kedaulatan ditemui kerancuan;
  4. MPR tidak tegas menetapkan sistem pemerintahan yang dianut, apakah sistem presidensial atau parlementer murni atau semu;

Kesimpulannya empat kali perubahan UUDNRI Tahun 1945 oleh MPR justru menciptakan sistem politik dan sistem ketatanegeraan Indonesia yang tidak jelas dan menghasilkan rumusan pasal-pasal yang multi interpretatif, sehingga dapat menimbulkan instabilitas hukum maupun politik.

KRITIK ADNAN BUYUNG NASUTION

Advokat senior, Adnan Buyung Nasution mencatat sedikitnya ada tiga kelemahan yang terkandung dalam UUD 1945 hasil amandemen.

  • Pertama, berkaitan dengan masalah konseptual, MPR saat melakukan amandemen tidak memiliki pegangan konsep ketatanegaraan yang jelas tentang arah yang hendak dicapai.
  • Kedua, MPR saat itu tidak mempunyai konsep jelas dalam memahami dan kemudian merumuskan pasal-pasal tentang HAM. Hal ini bisa dilihat dalam Pasal 28 sampai 28i, yang hasilnya masih tumpang tindih satu sama lain.
  • Ketiga, menyangkut masalah teknis yuridis. MPR masih terlihat lemah dalam kemampuan legal drafting-nya pada saat merumuskan dan menyusun pasal-pasal dalam amandemen itu. Hal ini terlihat dari segi sistematika yang rancu maupun dari bahasa hukum yang dipergunakan.

UUD TERLALU SEDERHANA

Adnan Buyung Nasution mengatakan bahwa UUD45 (asli) yang hanya berisi 37 pasal terlalu sederhana untuk sebuah konstitusi negara. Dengan adanya kesederhanaan itu, pelaksanaan UUD 1945 diatur lebih lanjut dengan undang-undang (UU). Kondisi ini membuka peluang terjadinya penyelewengan-penyelewengan oleh pembuat UU sebagaimana terjadi selama ini.

Sebagaimana yang kita lihat UUD45 hasil amandemen juga masih sederhana sebagaimana UUD45 asli, sehingga potensi penyelewengan di tingkat Undang-undang masih terbuka lebar. Pada Juni 2007, di aula KBRI Den Haag, Revrisond Baswir berbicara banyak tentang kondisi struktur perekonomian Indonesia yang menurutnya, banyak dikungkung Undang-undang pesanan kaum neokolonial yang kini bekerja dalam wujud kartel. Baik itu berupa G7, G8, World Bank, IMF, hingga Asian Development Bank. Celakanya, Indonesia tak punya pilihan lain kecuali manut. [3]

LANDASAN HUKUM PANCASILA

Landasan hukum yang dijadikan dasar penetapan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara Republik Indonesia sebagai berikut:

  • Dalam Pembukaan UUD 1945 ditegaskan bahwa pembentukan pemerintahan negara Indonesia dilandasi oleh Pancasila. Kata “Pancasila” tidak disebutkan di dalam pembukaan ini, akan tetapi yang disebutkan adalah ke-5 sila dari Pancasila.
  • Dekret presiden 5 Juli 1959 yang menegaskan berlakunya kembali UUD 1945 yang berarti Pancasila kembali menjadi dasar negara Indonesia.
  • Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR RI Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Prasetya Pancakarsa). Dalam ketetapan tersebut ditegaskan kembali mengenai Pancasila sebagai berikut “Pancasila sebagaimana yang dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara”. Dalam penjelasan ketetapan MPR ini ditegaskan bahwa dasar negara yang dimaksud dalam ketetapan ini di dalamnya mengandung makna sebagai ideologi nasional, cita-cita, dan tujuan negara.
  • Ketetapan MPR No. III/MPR/2000, diantaranya menyebutkan: sumber hukum dasar nasional yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa; kemanusiaan yang adil dan beradab; persatuan Indonesia kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pasal 7 ayat 1 UU No 12 Tahun 2011 menjelaskan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sebagai berikut ini. Perhatikan bahwa Pancasila tidak disebutkan secara eksplisit sebagai salah satu peraturan perundang-undangan:

  • Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  • Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  • Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  • Peraturan Pemerintah;
  • Peraturan Presiden;
  • Peraturan Daerah Provinsi; dan
  • Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Dengan demikian, landasan hukum yang dijadikan dasar penetapan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara sangat lemah, ditinjau dari beberapa segi berikut:

  • Penyebutan teks 5-sila dari Pancasila di dalam Pembukaan UUD45 dianggap sudah memadai sebagai landasan hukum.
  • Tidak ada penegasan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara di batang tubuh UUD45. Penegasan itu justru ditempatkan pada Tap MPR.
    Yang ditegaskan dalam batang tubuh UUD45 (asli dan amandeman) hanya sila pertama, yakni di Pasal 29 ayat 1: Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
  • Dalam UU No 12 Tahun 2011 yang mengatur hirarki peraturan perundang-undangan Pancasila tidak disebutkan sebagai salah satu produk peraturan perundang-undangan.

MULTITAFSIRNYA KETUHANAN YANG MAHA ESA

Satu-satunya sila dari Pancasila yang secara ekplisit dikutip ulang dalam batang tubuh UUD45 (asli dan amandemen) adalah sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa yang ditempatkan pada pasal 29 ayat 1: Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Apa yang dimaksud dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, hanya dijelaskan dalam 1 ayat, yakni pada pasal 29 ayat 2: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Dengan penafsiran seperti itu, maka dimungkinkan dibuatnya Tap MPR atau Undang-undang yang menganut paham sekularisme, yang memisahkan antara urusan agama dan urusan pemerintahan dan menempatkan urusan agama ke ranah privat. Dan itu sah secara hukum.

Akan tetapi jika merujuk kepada perkataan Bung Karno pada Pidato Lahirnya Pancasila[4], hal itu kurang tepat. Ketika menjelaskan makna dari Ketuhanan Yang Maha Esa, Bung Karno mengatakan bahwa yang kita dirikan ini bukanlah negara agama islam, atau negara agama kristen, akan tetapi negara yang berdasar kepada banyak agama. Bung Karno mengatakan dengan tegas “negara yang bertuhan”, bukan hanya “bangsa yang bertuhan”. Dengan demikian seharusnyalah segenap peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara ini tidak boleh ada yang bertentangan dengan ajaran agama manapun, atau setidak-tidaknya ajaran agama dijadikan salah satu acuan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian, penjabaran “Ketuhanan Yang Maha Esa” kedalam hanya 2 ayat dalam batang tubuh UUD45 menimbulkan multitafsir yang bisa memicu perdebatan dan menciptakan instabilitas hukum maupun politik.

KEKUASAAN DPR YANG TERLALU BESAR

Jika UUD45 asli memberikan kekuasaan yang terlalu besar kepada Presiden, maka UUD45 hasil amandemen memberikan kekuasaan yang terlalu besar kepada DPR. Saat ini, DPR memiliki kekuasaan yang sangat besar, khususnya dalam pengawasan dan pengangkatan pejabat publik. DPR memegang suara kunci untuk menentukan pengangkatan mulai dari hakim agung, hakim konstitusi, gubernur BI, kepala kepolisian, pejabat komisi negara, hingga direksi BUMN. [5]

Kondisi ini mulai dipandang negatif karena menciptakan politisasi dan perdagangan kepentingan jabatan-jabatan publik. Peran pengawasan juga dianggap telah dijalankan secara eksesif sehingga menganggu jalannya pemerintahan. Pemerintah dianggap “tersandera” oleh kekuatan parlemen dalam merumuskan dan menjalankan kebijakannya. Hal tersebut ditambah dengan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap DPR yang sudah tidak dianggap lagi memperjuangkan kepentingan masyarakat mulai dari kegiatan studi-banding-wisata yang berlebihan ke luar negeri hingga dugaan berbagai praktek korupsi di tubuh DPR yang secara perlahan terbukti.[5]

Sebenarnya ada solusi untuk mengimbangi kewenangan yang besar pada Presiden maupun DPR, yakni dengan memberikan hak inisiatif dan hak referendum (jajak pendapat) kepada rakyat, akan tetapi hal itu tidak terlihat pada UUD45 hasil amandemen. [6]

KEDAULATAN RAKYAT SEMU

Baik pada masa sebelum maupun sesudah reformasi, rakyat tak lebih dari alat untuk legitimasi telah terselenggaranya demokrasi. Secara periodik, rakyat melakukan ritual “pesta demokrasi”, akan tetapi setelah itu posisi rakyat selalu termarginalkan dalam berbagai keputusan-keputusan negara/pemerintah.

Sebelum masa reformasi, kita mengenal parlemen, yaitu DPR dan MPR yang katanya merupakan lembaga negara tertinggi pelaksanan kedaulatan rakyat, ada pemilihan umum yang berlangsung secara rutin, dan ada partai-partai yang bersaing didalam pemilihan umum. Tetapi realitas politik yang kita hadapi jelas menunjukkan bahwa sistem negara kita sama sekali tidak demokratis. [6]

Setelah masa reformasi, demokrasi menjadi tidak lebih sebagai tontonan perebutan kekuasaan antara elite-elite partai yang dalam persaingan mereka memanfaarkan rakyat. Sebagai rakyat, kita menyaksikan bagaimana mereka yang menamakan dirinya wakil rakyat sama sekali tidak memiliki kepekaan terhadap nasib rakyat yang mereka wakili. Ketika rakyat sedang mengalami kesulitan ekonomi yang hampir-hampir tak tertanggungkan, mereka malah mempeributkan kenaikan berbagai tunjangan dan fasilitas bagi diri mereka sendiri. Korupsi oleh wakil rakyat merebak dimana-mana, agama dimanfaatkan untuk kepentingan politik, dan sebagainya. [6]

Kedaulatan rakyat yang semu ini dapat ditelusuri sumbernya berasal dari sistem ketatanegaraan kita dimana Kedaulatan Rakyat diatur sebagai berikut: UUD45 asli Pasal 1 ayat 2: Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. UUD45 hasil amandemen Pasal 1 ayat 2: Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar.

Konsekuensi dari UUD45 asli adalah kedaulatan rakyat diserahkan sepenuhnya kepada MPR; sementara itu setelah amandemen, kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut UUD, akan tetapi tidak ada pengaturan lebih lanjut didalam UUD yang dimaksud. Di dalam UUD45 asli maupun amandemen tidak memberikan hak inisiatif dan jajak pendapat kepada rakyat, yang memungkinkan rakyat untuk turut serta dalam pembuatan kebijakan negara/pemerintah.

Selain itu, dalam sebuah sistem demokrasi yang baik,  rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi harus memiliki kemampuan untuk mengendalikan para wakilnya. Dan hak untuk itu tertulis secara ekspisit dalam UUD.

RANCUNYA POSISI KEPALA NEGARA DAN KEPALA PEMERINTAHAN

UUD45 memberikan kekuasan dan kewenangan kepada Presiden sebagai Kepala Negara sekaligus sebagai Kepala Pemerintahan. Inilah yang menurut Cak Nun menjadi sumber segala kesemrawutan di negara kita. Dalam satu kesempatan, Cak Nun menulis, “Sampai hari ini kita masih belum benar-benar beradab, karena membiarkan posisi rancu antara Negara dengan Pemerintah. ” [7]. Bagi Cak Nun, membedakan antara negara dan pemerintahan sangat penting dalam mengurai benang kusut permasalahan bangsa ini.

Agar lebih mudah memahaminya, Cak Nun memberikan analogi seperti rumah tangga dan keluarga. Kepala keluarga ialah bapak sedangkan kepala rumah tangga adalah ibu. Keduanya memiliki kas keuangan sendiri-sendiri. Sebagian dari kas bapak diberikan ke kas ibu untuk keperluan rumah tangga, tapi penghasilan bapak dari kantor masuk ke kas keluarga. [8]

“Nah, di Indonesia tidak ada bedanya rumah tangga dan keluarga. Jadi kepala keluarga adalah kepala rumah tangga di Indonesia.”, kata Cak Nun. [8]

Cak Nun kemudian mengajak merefleksikan kembali filsafat kenegaraan para leluhur di zaman Majapahit. Negara yang pada masa itu dipimpin misalnya oleh Hayam Wuruk bertugas mengkoordinasikan kebijakan-kebijakan dan menyusun sistem kontrol. Adapun Gadjah Mada merupakan perdana menteri yang bertugas sebagai eksekutor dari kebijakan-kebijakan Hayam Wuruk. Sehingga, Gadjah Mada berposisi diawasi oleh sistem kontrol negara yang dipimpin oleh Hayam Wuruk. [8]

TNI/POLRI MENJADI ALAT PEMERINTAH, BUKAN ALAT NEGARA

Undang-undang Dasar 1945 baik yang asli maupun hasil amandemen hanya mengatur TNI dengan menempatkannya di bawah kewenangan Presiden. Hal ini bisa kita lihat pada UUD45 asli/amandemen Pasal 10: Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. POLRI sama sekali tidak diatur dalam kedua UUD ini.

Karena kedua UUD memberikan kekuasan dan kewenangan kepada Presiden sebagai Kepala Negara sekaligus sebagai Kepala Pemerintahan, maka pada prakteknya, TNI/POLRI lebih sering dijadikan alat pemerintah, bukan alat negara. Jika saja Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan dipisahkan kekuasaan dan kewenangannya, problematika ini tak akan terjadi.

CRM-31.10-2017

CATATAN KAKI

[1] Perubahan Undang-Undang Dasar Antara Harapan dan Kenyataan, A.A. Oka Mahendra.
[2] Amandemen Tak Sempurna, Bukan Alasan Kembali Ke UUD-45 Lama.
[3] Banyak UU Pesanan Kartel Neo kolonial.
[4] Pidato Lahirnya Pancasila.
[5] Kekuasaan DPR, Pendulum Reformasi? oleh M. Ajisatria Suleiman
[6] Hak Inisiatif Rakyat Dan Referendum: Upaya Memperluas Ruang Partisipasi Rakyat oleh Hadi Wahono
[7] Pamangku Buwono Mamayu Bawono.
[8] Cak Nun: Ada Kebingungan Sistemik dalam Formula Kenegaraan Kita.

PRANALA