Sebagaimana telah dibahas dalam artikel “Memahami Perbedaan Negara dan Pemerintah” [1], bahwa segala macam kesemrawutan di negeri ini adalah karena kita tidak memahami beda antara negara dengan pemerintah [1]. Dan hal ini sumbernya adalah UUD 45. Sementara itu kesemrawutan bertambah parah setelah UUD 45 diamandemen di masa reformasi.
Dengan Amandemen UUD 1945, Neokolonial semakin mapan. Disintegrasi terjadi, eksistensi usaha Negara ‘melayani’ rakyatnya semakin tak berdaya karena privatisasi BUMN menjadi ajang penjarahan. Demokrasi liberal yang oleh aktivis reformasi digadang-gadang dapat menghasilkan perubahan menjadi mimpi basah belaka. [2]
Bahkan amandemen UUD 1945 mengenai calon presiden dan wakil presiden pun yang sebelumnya orang Indonesia asli diganti dengan WNI yang membuka lebar pintu masuk aksi kapitalisme (para pemegang modal). [3]
Dalam rangka mencari solusi atas permasalahan bangsa ini, beberapa kalangan bersepakat untuk kembali ke UUD 45:
“Kami bersepakat dari kaum nasionalis dan dari para kaum ulama ini untuk kembali ke UUD 45 (asli), mempertahankan kesatuan Republik Indonesia yang didasarkan dasar negara kita Pancasila,” kata Rachmawati. [4]
Sekalipun gagasan untuk kembali ke UUD45 yang asli adalah lebih baik daripada UUD45 hasil amandemen, UUD45 yang asli itupun masih banyak kelemahannya. Resume kritik atas UUD45 dapat dilihat di artikel "Kritik Atas Sistem Ketatanegaraan Indonesia".
Dalam pada itu, kita mesti mengingat kembali bahwa UUD 45 itu dibuat dalam masa revolusi yang penuh tekanan. Hal itu dapat kita telusuri pada Risalah Sidang BPUPKI.
Pada Rapat Besar tanggal 15 Juli 1945, dalam Sidang Kedua BPUPKI, Soekiman menyatakan bahwa “Di muka kita dletakkanlah suatu rancangan Undang-Undang Dasar Indonesia yang tidak lama lagi akan merdeka … Dalam keadaan yang demikian itu sudah barang tentu segala tindakan harus bersifat kilat”. [5]
Bung Karno juga menjanjikan untuk membuat UUD baru jika negara sudah dalam keadaan tenteram:
“Kalau boleh saya memakai perkataan: ini adalah Undang-Undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna”, kata Bung Karno dalam Sidang Pertama PPKI 18 Agustus 1945. [5]
Apa yang dijanjikan Bung Karno itu, sampai hari ini belum terlaksana. Pada tahun 1956, pemerintah membentuk konstituante yang diharapkan mampu merumuskan UUD baru, akan tetapi setelah 3 tahun badan ini tidak berjalan sebagaimana mestinya, sehingga Bung Karno mengelurkan dekrit presiden untuk kembali ke UUD 45 pada 5 Juli 1959.
Sekalipun saya berpendapat bahwa kita memerlukan pembuatan UUD baru yang lebih sesuai sebagai landasan hukum bagi bangsa yang berjatidiri Garuda, namun saat ini bukanlah saat yang tepat untuk melakukan perubahan itu.
Suatu hari nanti, ketika kita sama-sama menyadari kehidupan berbangsa dan bernegara secara lebih baik dan kita mampu menurunkan tensi kebanggaan diri atas kelompoknya masing-masing, dan kemudian bersedia duduk bersama-sama dalam suasana kekaluargaan, pada saat itulah waktunya.
Dengan demikian, tulisan-tulisan di situs "Lembah Ceremai" dan di situs "Konstitusi Baru NKRI" tak lain tak bukan, hanyalah sebuah urun-rembug ala kadarnya, menyambut datangnya saat itu. Semoga ada manfaatnya.
CATATAN KAKI
[1] Memahami Perbedaan Negara dan Pemerintah.
[2] Gerbang Wabal Di Tengah Keterasingan Zaman.
[3] Benteng Nusantara.
[4] Rachmawati dan Habib Rizieq Sepakat Untuk Kembali ke UUD 1945.
[5] UUD 1945 Bersifat Sementara.
PRANALA
- Memahami Perbedaan Negara dan Pemerintah
- Kritik Atas Sistem Ketatanegaraan Indonesia
- Gagasan Membuat Undang-Undang Dasar Baru
- Pemisahan Kewenangan antara Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan
- Prinsip-prinsip Demokrasi
- Demokrasi Religius Plus
- Prinsip Pembagian Kekuasaan
- Prinsip Kesamaan Derajat
- Hak Inisiatif Rakyat dan Referendum
- Reformasi Ketatanegaraan Indonesia
- Konstitusi Baru Indonesia
Post a Comment
Post a Comment