Manunggaling Kawula Gusti


Tulisan ini ditujukan untuk melakukan memaknai ulang konsep “Manunggaling Kawula Gusti” disesuaikan dengan dalil-dalil yang bisa diterima oleh semua agama, khususnya Islam dan Kristen.

Secara harfiah, Manunggaling Kawula Gusti berarti menyatunya seorang hamba dengan Tuhannya. Secara maknawi, ini adalah sebuah tahapan kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya sedemikian sehingga Tuhan mencintainya dan segala pikiran, ucapan dan tindakannya selaras dengan kehendak Tuhan.

Dalam sebuah hadits kebersatuan seorang hamba dengan Tuhannya digambarkan sebagai berikut: “Jika Aku mencintainya maka Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan.” (HR. Al-Bukhari)

Senada dengan hal itu, di dalam Bibel terdapat keterangan sebagai berikut: “Tetapi siapa yang mengikatkan dirinya pada Tuhan, menjadi satu roh dengan Dia.” (1 Korintus 6:17)

Tanda awal seorang hamba telah (hampir) menyatu dengan Tuhan adalah munculnya penasehat di dalam hatinya: “Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba maka Allah akan menjadikan untuknya penasihat dari hatinya” (HR. Abu Manshur Ad-Dailami). “Barang siapa yang mempunyai penasihat dari hatinya maka Allah akan memeliharanya.” (Al-Hadits)

Penasehat dalam hati inilah yang akan menuntun setiap langkah kehidupan seorang hamba: pendidikan, pekerjaan, pernikahan, dsb. Penasehat dalam hati juga berfungsi mencegah si hamba menghindari berbagai larangan-Nya.

Untuk bisa sampai kepada derajat Manunggaling Kawula Gusti, maka perlu dipelajari dulu teorinya. Dikatakan bahwa manusia itu pada dasarnya terdiri dari dua komponen, yakni jasad dan jiwa.

Jasad adalah segala sesuatu yang bisa kita raba dan rasa. Ini adalah komponen material yang dibentuk oleh unsur-unsur bumi (dalam terminologi Kristen disebut sebagai darah dan daging), termasuk didalamnya pikiran dan perasaan. Ketika manusia mati, maka jasad akan dikembalikan menyatu kembali dengan bumi (dalam terminologi Kristen dikatakan dari debu kembali ke debu).

Jiwa adalah makhluk langit, yang sekali dicipta ia akan hidup selamanya. Dialah komponen yang abadi dari manusia dan sejatinya jiwa inilah yang disebut dengan “diri”. Ketika manusia mati, jiwa akan dimintai pertanggung jawaban atas kehidupannya di dunia ini.

Jasad dan jiwa adalah dua makhluk yang terpisah tetapi saling membutuhkan. Al-Ghazali menjelaskan hubungan antara jasad dengan jiwa laksana kuda dengan penunggangnya:

Jasad bisa diumpamakan seekor kuda sementara jiwa adalah penunggangnya. Jasad diciptakan untuk jiwa dan jiwa untuk jasad. Jika seseorang tidak mengetahui jiwanya-sesuatu yang paling dekat kepadanya-maka pengakuannya bahwa ia mengetahui hal-hal lain tidak berarti apa-apa. Ia tak ubahnya pengemis yang tak punya persediaan makanan, lalu mengaku bisa memberi makan seluruh penduduk kota. (Imam Al-Ghazali dalam Kimiya As-Sa’adah)

Jiwa inilah yang dikatakan sebagai penasehat dalam hati: Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba maka Allah akan menjadikan untuknya penasihat dari hatinya (HR. Abu Manshur Ad-Dailami). Jika jiwa seseorang tumbuh dan berkembang dengan baik, maka jiwa akan menjadi penasehat bagi jasad agar jasad membantu jiwa dalam menjalankan tugasnya di muka bumi.

Jika kerjasama antara kuda dan penunggangnya ini (baca: jasad & jiwa) sudah sedemikian baik, maka dikatakan manusia ini mencapai derajat Manunggaling Kawula Gusti. Ketika seorang hamba selalu taat kepada penasehat di dalam hati ini, maka Allah akan mencintainya dan menjadikan hamba ini salah satu wali-Nya:

Siapa yang memusuhi wali-Ku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang terhadapnya. Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya. Dan senantiasa seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan Sunah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya maka Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta (sesuatu) kepada-Ku pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan kepada-Ku pasti Aku akan melindunginya. (HR. Al-Bukhari)

Foto: Patung Pangeran Diponegoro di Undip. Diambil dari situs kampusundip.com