Segala macam kesemrawutan di negeri ini, merujuk pendapat Cak Nun, adalah karena kita tidak memahami beda antara negara dengan pemerintah. Selama ini kita menganggap bahwa negara sama dengan pemerintah. Dalam satu kesempatan, Cak Nun menulis, “Sampai hari ini kita masih belum benar-benar beradab, karena membiarkan posisi rancu antara Negara dengan Pemerintah. ” [1]. Bagi Cak Nun, membedakan antara negara dan pemerintahan sangat penting dalam mengurai benang kusut permasalahan bangsa ini.
Agar lebih mudah memahaminya, Cak Nun memberikan analogi seperti rumah tangga dan keluarga. Kepala keluarga ialah bapak sedangkan kepala rumah tangga adalah ibu. Keduanya memiliki kas keuangan sendiri-sendiri. Sebagian dari kas bapak diberikan ke kas ibu untuk keperluan rumah tangga, tapi penghasilan bapak dari kantor masuk ke kas keluarga. [2]
“Nah, di Indonesia tidak ada bedanya rumah tangga dan keluarga. Jadi kepala keluarga adalah kepala rumah tangga di Indonesia.”, kata Cak Nun. [2]
“Nah sekarang, presiden itu kan melantik ketua KPK, sekaligus ikut menentukan ketua KPK. Kalau mengikuti logika Majapahit, sebenarnya presiden — kalau dikatakan kepala pemerintahan — justru ia nomor satu yang harus diawasi KPK.”
Karena itu, menurut Cak Nun, presiden tidak punya posisi untuk melantik KPK. Lebih jauh, pria kelahiran Jombang ini juga menyinggung lalu lintas keuangan setelah ditanya soal pajak, migas dan pertambangan.
“BUMN itu kalau setor keuangan ke kas negara atau pemerintah? kan juga tidak jelas, karena di Indonesia tidak punya majelis tinggi.”
Agar lebih mudah memahaminya, Cak Nun memberikan analogi seperti rumah tangga dan keluarga. Kepala keluarga ialah bapak sedangkan kepala rumah tangga adalah ibu. Keduanya memiliki kas keuangan sendiri-sendiri. Sebagian dari kas bapak diberikan ke kas ibu untuk keperluan rumah tangga, tapi penghasilan bapak dari kantor masuk ke kas keluarga.
“Nah, di Indonesia tidak ada bedanya rumah tangga dan keluarga. Jadi kepala keluarga adalah kepala rumah tangga di Indonesia.”
Cak Nun kemudian mengajak merefleksikan kembali filsafat kenegaraan para leluhur di zaman Majapahit. Negara yang pada masa itu dipimpin misalnya oleh Hayam Wuruk bertugas mengkoordinasikan kebijakan-kebijakan dan menyusun sistem kontrol. Adapun Gadjah Mada merupakan perdana menteri yang bertugas sebagai eksekutor dari kebijakan-kebijakan Hayam Wuruk. Sehingga, Gadjah Mada berposisi diawasi oleh sistem kontrol negara yang dipimpin oleh Hayam Wuruk. [2]
Untuk mengurai benang kusut sistem kenegaraan kita itu, hal utama dan terpenting adalah membedakan nomenklatur "pemerintah" dan "negara". Katakanlah, presiden adalah kepala negara, sementara kepala pemerintahan kita beri nama "perdana menteri". Dengan kata lain, presiden adalah representasi negara, dan perdana menteri adalah representasi pemerintah.
Perubahan nomenklatur ini membawa dampak yang signifikan bagi kehidupan berbangsa dan bertanah air. Sebagai contoh, semua hal yang namanya ada embel-embel "negara" atau "negeri", bukan lagi urusan pemerintah, melainkan urusan negara. Ini termasuk BUMN (yang adalah singkatan dari Badan Usaha Milik Negara), dan Sekolah Negeri.
Dalam UUD dikatakan: "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Konsekuensi logis dari kalimat ini misalnya adalah: urusan Freeport dan semua jenis pertambangan bukan lagi urusan pemerintah, melainkan urusan negara.
Agar "urusan negara" ini tidak jatuh dalam berbagai kepentingan politik sesaat, maka kita perlu membuat rambu-rambu yang kuat, misalnya:
- Presiden adalah salah satu representasi dari kedaulatan rakyat yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum tanpa melibatkan partai politik. Hal ini untuk menjamin Presiden yang terpilih tidak terjebak dalam kontrak politik dengan parpol.
- Yang dipilih sebagai Presiden hendaklah orang yang memiliki sifat kenegarawanan, karena ia menjadi simbol negara dan simbol pemersatu bangsa. Sementara itu yang ditunjuk sebagai Perdana Menteri adalah tokoh partai politik.
- Presiden adalah orang non partai, karena ia harus memposisikan diri di atas semua partai politik. Jika tokoh partai politik mencalonkan diri sebagai Presiden, maka ia harus melepaskan jabatannya di kepartaian.
Sudah barang tentu, persoalannya menjadi tidak sesederhana membuat nomenklatur baru dan beberapa pertimbangan di atas. Ini muaranya berurusan dengan perubahan besar dalam UUD45, bukan sekedar amandemen sebagaimana yang selama ini digagas di ruang sidang MPR. Sudah saatnya kita berpikir lebih kehulu, yakni membuat undang-undang dasar baru, mengatasi semua kelemahan UUD45 dan amandemennya.
CATATAN KAKI
[1] Pamangku Buwono Mamayu Bawono
[2] Cak Nun: Ada Kebingungan Sistemik dalam Formula Kenegaraan Kita
Foto: Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), tokoh dekonstruksi pemahaman nilai, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi masalah masyarakat.
PRANALA
- Memahami Perbedaan Negara dan Pemerintah
- Kritik Atas Sistem Ketatanegaraan Indonesia
- Gagasan Membuat Undang-Undang Dasar Baru
- Pemisahan Kewenangan antara Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan
- Prinsip-prinsip Demokrasi
- Demokrasi Religius Plus
- Prinsip Pembagian Kekuasaan
- Prinsip Kesamaan Derajat
- Hak Inisiatif Rakyat dan Referendum
- Reformasi Ketatanegaraan Indonesia
- Konstitusi Baru Indonesia
Post a Comment
Post a Comment