Prinsip Kesamaan Derajat

Dalam demokrasi, semua orang dianggap sederajat. Istilah kerennya “one man, one vote” (satu orang, satu suara). Ini berarti menyamakan nilai seorang yang paling bijak dalam sebuah komunitas dengan orang yang paling tolol dalam komunitas. Tidak ada bedanya antara batu dengan mutiara. Tidak ada bedanya antara ulama dengan penjahat kelas kakap.

Ilustrasinya begini:

Kasus I: Ada tiga orang yang ingin mengambil keputusan apakah minuman keras itu diperbolehkan dijual bebas apa tidak. 1 diantara mereka adalah ulama yang mengerti hukum agama, mengatakan bahwa minuman keras berbahaya bagi kesahatan dan merusak moralitas. Sementara itu dua orang adalah pecandu minuman keras yang bersikeras untuk membebaskan peredaran minuman keras. Oleh karena satu orang satu suara, maka yang keluar sebagai pemenang adalah dua orang pecandu minuman keras ini, bukan ulama.

Kasus II: Dalam sebuah komunitas yang terdiri dari 100 orang hendak memutuskan kebijakan A atau B. Pada awalnya kekuatan berimbang: 52 orang memilih A, dan 48 memilih B. Ada seorang yang memiliki banyak harta, yang merasa dirugikan jika kebijakan yang dijalankan adalah kebijakan A. Maka ia mengeluarkan hartanya “membeli” suara. 10 orang yang lemah pendiriannya menerima tawaran itu. Jadi sekarang posisinya A:42 dan B:58. Dalam demokrasi yang kita jalankan, kasus pembelian suara ini sudah menjadi rahasia umum. Dengan demikian, yang dimenangkan adalah kebijakan yang didukung oleh kaum bermodal, bukan lagi kesadaran masyarakat.

Bagaimana mengatasi hal ini? Setidaknya ada dua cara: pertama dengan membuat aturan yang ketat yang meminimalisir pembelian suara, yang kedua referendum. Dengan referendum (jajak pendapat rakyat), semua rakyat dilibatkan, sehingga meminimalisir kesalahan dan menyulitkan pembelian suara.

PRANALA