Demokrasi Religius Plus

Demokrasi Pancasila yang hendak kita tuju bukanlah demokrasi liberal yang kebablasan dalam memberikan kebebasan kepada individu, bukan pula demokrasi rakyat yang yang tidak menghargai hak-hak individu selayaknya. Demokrasi Pancasila berkerabat dekat dengan DEMOKRASI RELIGIUS dimana hak-hak individu dihargai sepanjang hal itu meninggikan derajat kemanusiaan.

DEMOKRASI RELIGIUS adalah sebuah sistem baru dalam literatur politik. Sistem ini lahir dari penggalian nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai agama. Ciri umum demokrasi religius adalah sebagai berikut:

(1) Adanya pengakuan akan Pendapat Rakyat dan Pendapat Tuhan dan menempatkan Pendapat Tuhan di atas Pendapat Rakyat.
(2) Adanya pembagian dan pemisahan kekuasaan.
(3) Melaksanakan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik: pembatasan pemerintah secara konstitusional, jaminan hak asasi manusia, dan persamaan di depan hukum.

Demokrasi religius adalah sistem pemerintahan yang berlandaskan kepada petunjuk Tuhan dan kehendak rakyat. Demokrasi religius merupakan sebuah sistem yang mengabdi kepada nilai-nilai kesucian, kebenaran, dan kemanusiaan. Demokrasi religius didasarkan kepada keyakinan bahwa manusia terdiri dari jasmani dan rohani.

Singkat kata, demokrasi religius adalah sebuah model pemerintahan yang dibangun atas dasar legitimasi Tuhan dan akseptabilitas masyarakat. Demokrasi religius didasarkan pada dua prinsip yaitu, pertama berakar pada ajaran-ajaran agama dan kedua ajaran-ajaran itu dapat dilaksanakan melalui kehendak rakyat.

Dalam demokrasi religius, sistem politik didasarkan pada nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Sistem ini menetapkan hubungan rakyat dan pemerintah berdasarkan kepada ajaran agama. Perbedaan utama antara demokrasi religius dengan demokrasi liberal terletak pada sumber legitimasi mereka. Legitimasi merupakan landasan keabsahan sebuah pemerintah dan para penguasanya.

Dalam demokrasi liberal, yang dijadikan landasan legimitasi adalah kesepakatan mayoritas rakyat/wakil rakyat. Semua hukum dan peraturan perundang-undangan adalah hasil kesepakatan mayoritas. Demikian pula orang-orang yang dipilih harus bekerja dalam kerangka kesepakatan mayoritas itu. Di beberapa negara barat, perkawinan sejenis atau aborsi tanpa rekomendasi medis dilegalkan karena mayoritas anggota parlemen, partai politik, masyarakat, dan aktivis menginginkan hal itu.

Sumber legitimasi dalam demokrasi religius adalah Pendapat Tuhan yang tertuang dalam ajaran-ajaran agama; dimana tidak kesalahan dan penyimpangan di dalamnya. Kesepakatan dan kehendak rakyat sebagai hamba Tuhan didudukan dalam kerangka ini. Dalam demokrasi religius, hukum dan peraturan perundang-undangan yang menentang Tuhan dan nilai-nilai kemanusiaan tidak diwacanakan, dan apabila menjadi wacana, maka akan ditolak. Namun, masyarakat memiliki peran utama dalam kualitas pelaksanaan undang-undang dalam kerangka ajaran-ajaran agama ini.

Perbedaan kedua antara demokrasi liberal dengan demokrasi religius terletak pada sumber hukum dasarnya. Sumber hukum dalam demokrasi liberal adalah pemikiran-pemikiran rasional yang didasarkan pada asumsi-asumsi materialistik. Demokrasi liberal beranggapan bahwa sesuatu yang ada di alam metafisik, tidak bisa dijadikan sumber hukum dan mereka hanya menggunakan akal dan indera sebagai instrumen dalam menyusun regulasi dan mengatur masyarakat.

Demokrasi religius tidak menampik pemikiran-pemikiran rasional itu, yang ditampik adalah asumsi-asumsi yang dilandaskan pada materialistik yang tidak mengakui adanya Tuhan. Sumber hukum dasar demokrasi religius digali dari perasan ajaran-ajaran agama dan berbagai hikmah kebijaksanaan yang memuliakan nilai-nilai kemanusiaan.

Landasan sistem merupakan perbedaan ketiga dan utama antara demokrasi religius dan demokrasi liberal. Landasan demokrasi liberal dibangun atas tiga pilar yaitu humanisme, kebebasan individu, dan sekularisme. Media dan pemerintah barat menganggap setiap sistem yang bertentangan dengan ketiga pilar tersebut adalah tidak demokratis dan tirani, meski pemerintahan itu lahir dari pemilu yang bebas.

Paham humanisme menjadikan manusia sebagai tolok ukur segala sesuatu, bukan Tuhan. Humanisme menjadikan hawa nafsu dan syahwat manusia sebagai titik tolak dalam segenap perencanaan dan pelaksanaan, bukan sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan untuk kebahagiaan manusia.

Pilar kedua dalam demokrasi liberal adalah kebebasan individu. Pemikiran liberal menilai manusia bebas melakukan apapun kecuali sesuatu yang bertentangan dengan kebebasan orang lain. Segala hukum dan peraturan perundang-undangan dibuat untuk melindungi kebebasan individu itu.

Pilar ketiga dalam demokrasi liberal adalah sekularisme, yakni pemisahan urusan agama dan politik/pemerintahan. Agama tidak diizinkan untuk memasuki ruang publik dan politik; agama hanya berlaku di ruang privat. Pada sistem ini warga negara memeluk dua agama; Di ranah publik, mereka memeluk “agama neolib”, di ranah privat mereka memeluk agama yang diyakininya.

Dalam demokrasi religius, yang menjadi landasan dan tolok ukur adalah Tuhan. Kebebasan manusia dihormati dan didudukan dalam kerangka ajaran agama. Hawa nafsu dan syahwat masyarakat tidak dibiarkan lepas tanpa kendali, melainkan dibatasi oleh pagar agama.

Ajaran agama menjadi sumber legalitas dan pendapat rakyat menjadi syarat diterimanya sistem ini dan terealisasinya pembentukan pemerintahan. Agama selain mengatur masalah-masalah personal, juga memperhatikan urusan-urusan sosial. Dalam menyusun hukum dan perundang-undangan, ajaran agama menjadi rujukan utama.

Perbedaan keempat antara demokrasi liberal dengan demokrasi religius terletak pada tujuan. Tujuan demokrasi liberal adalah mewujudkan sebuah masyarakat, di mana anggota-anggotanya bisa secara maksimal dapat meraup keuntungan materi dan kelezatan duniawi. Sementara itu demokrasi religius mengusung misi mulia mewujudkan sebuah masyarakat yang mengabdi kepada Tuhan dan mencapai kesejahteraan lahir dan batin.

Demokrasi Pancasila yang hendak kita tuju adalah demokrasi religius plus. Semua kebaikan yang ada dalam demokrasi religius ada dalam demokrasi pancasila, dengan tambahan sebagai berikut:

  • Pada umumnya pengusung demokrasi religius mendasarkan diri pada satu agama saja, misalnya Islam atau Khatolik. Demokrasi pancasila didasarkan pada ajaran-ajaran agama resmi negara.
  • Demokrasi Pancasila yang kita usung mengadopsi gagasan ARETE dari Aristoteles. Negara pengusung demokrasi religius pada umumnya tidak menempatkan ARETE sebagai landasannya, meskipun ajaran ARETE terdapat pada agama Islam, Nasrani, dan Hindu.
  • Demokrasi Pancasila yang kita usung mengadopsi gagasan filosof-raja dari Plato. Syarat utama bagi seorang Presiden NKRI adalah seorang Negarawan yang telah mencapai derajat Manunggaling Kawula Gusti.
  • Demokrasi Pancasila yang kita usung mengakui adanya 7 pilar demokrasi, bukan hanya tiga, yakni (1) Legislatif, (2) Eksekutif, (3) Yudikatif, (4) Dewan Agama (5), Dewan Pers, (6) Dewan Kerajaan, dan (7) ABRI.

PRANALA