Kisah Kedekatan Bung Karno Dengan Para Ulama Sufi

Bapak pendiri bangsa Indonesia, Soekarno, adalah sosok yang legendaris. Sejak remaja ia telah bergumul dengan paham nasionalis, sosialis, dan religius dan aktif di organisasi pergerakan menjadikannya luwes bergaul dengan siapa saja. Selain religius, Soekarno juga dikenal sebagai orang yang percaya mistik kejawen dan sufi.

Kisah kesaktian Soekarno dan benda-benda mistis yang dimilikinya sering diceritakan para penulis; akan tetapi kehidupan sufistik Soekarno jarang diketahui. Artikel ini mencoba menelisik berbagai pertemuan Soekarno dengan tokoh-tokoh sufi pada jamannya; dimana terlihat Soekarno sangat memperhatikan nasehat-nasehat dari para ulama sufi ini.

Hubungan dengan RMP Sosrokartono

Raden Mas Panji (RMP) Sosrokartono adalah kakak dari RA Kartini. Sewaktu muda, Kartono banyak bergaul dengan kalangan intelektual dan bangsawan di Eropa. Ia mengembara ke beberapa negara, kemudian menjadi wartawan perang. Ia juga pernah menjadi staf Kedutaan Besar Prancis di Den Haag, bahkan sempat menjadi penerjemah untuk Liga Bangsa-Bangsa.

Setelah melanglang bauan ke Eropa sejak 1897, pangeran tampan dari tanah Jawa itu pun pulang dan menetap di Bandung pada tahun 1926. Kartono menemui Ki Hajar Dewantara, Pendiri Taman Siswa, yang lalu mempersilakan Kartono membangun perpustakaan di gedung Taman Siswa Bandung. Ia pun diangkat menjadi kepala Sekolah Menengah Nasional di kota ini.

Kartono mengabdikan hidupnya dengan mengajar, hidup tirakat, mendirikan rumah pengobatan, dan menulis. Dalam beberapa tulisannya yang berisikan nasehat hidup, dia sering menggunakan nama samaran Mandor Klungsu (Mandor Biji Asam Jawa) atau Joko Pring. Nama yang terakhir mungkin menunjukkan bahwa dia tidak menikah. Kartono terbiasa dengan laku puasa, berdiam diri di ruang khusus, atau berdiri berjam-jam di malam hari.

Kayanto Soepardi, 63 tahun, putra seorang asisten Sosrokartono, menceritakan bahwa Soekarno sering datang ke kediaman Kartono untuk belajar bahasa, dan tentunya “ngangsu kawruh” kepada beliau. Pada malam hari menjelang persidangan di Landraad Bandung, 18 Agustus 1930, kawan-kawan Soekarno mendatangi kediaman Kartono untuk meminta nasehat.

Kartono rupanya sudah mengetahui niatan mereka dan langsung membuka pertemuan dengan kalimat “Sukarno adalah seorang satria. Pejuang seperti satria boleh saja jatuh, tetapi ia akan bangkit kembali. Waktunya tidak lama lagi.”. Keesokan harinya, Soekarno dijatuhi hukuman paling berat, empat tahun penjara. Sementara tiga kawan seperjuangan, Gatot Mangkupraja, Maskun, dan Supriadinata diganjar penjara masing-masing 2 tahun. [1]

Sowan ke Empat Ulama Sufi

Kurang lebih 5 bulan sebelum kemerdekaan RI, Soekarno sowan kepada 4 ulama sufi, yakni Syeikh Musa Sukanegara (Ciamis), KH Abdul Mu’thi (Madiun), RMP Sosrokartono (Bandung), dan KH Hasyim Asy’ari Tebuireng Cukir (Jombang).

Dari pertemuan itu, Soekarno mendapatkan informasi, “Tidak lama akan ada berkat rahmat Allah besar turun di Indonesia, di bulan Ramadhan, tanggal 9 (penanggalan Islam), tahun 1364 H, hari Jumat Legi, bila meleset harus menunggu 300 tahun lagi”. Rahmat Allah yang dimaksud adalah Kemerdekaan Indonesia dan tanggal 9 Ramadhan 1364 H bertepatan dgn 17 Agustus 1945. [2]

Jika dirunut kejadiannya, 5 bulan sebelum bulan Agustus adalah bulan Maret, dimana tanggal 1 Maret 1945 adalah tanggal pendirian BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), dimana Bung Karno menjadi salah satu anggotanya. Dengan demikian, timbul dugaan kuat, bahwa niat Bung Karno menemui empat ulama sufi itu adalah dalam rangka mempersiapkan diri menjelang rapat-rapat di BPUPKI.

Pertemuan dengan Syekh Kadirun Yahya

Syekh Kadirun Yahya adalah Mursyid Tarekat Naqsabandiyah di era 50-an, menggantikan Syekh Muhammad Hasyim. Selain sebagai mursyid, Syekh Kadirun Yahya juga pernah menduduki jabatan sebagai anggota dewan kurator seksi ilmiah Universitas Sumatra Utara (USU). Beliau juga menguasai lebih dari 17 bahasa international.

Pada suatu hari, pada sekitar bulan Juli 1965, Bung Karno bertemu dan berdialog dengan Syekh Kadirun Yahya. Dalam dialog itu Bung Karno mengungkapkan keinginannya, “Saya telah banyak melihat teman-teman saya matinya jelek karena banyak dosanya, saya pun banyak dosanya dan saya takut mati jelek. Maka saya selidiki Quran dan hadist. Bagaimana caranya supaya dengan mudah menghapus dosa saya dan dapat ampunan dan mati senyum?”

Syekh Kadirun Yahya kemudian memberikan nasehat kepada Bung Karno, bahwa kunci pengampunan Tuhan adalah kedekatan hubungan dengan-Nya. Yang diperlukan untuk itu adalah mendapatkan frekwensi Tuhan. Tanpa mendapatkan frekuensi-Nya tidak mungkin seorang hamba dapat kontak dengan Tuhan.

“Lihat saja, walaupun 1 mm jaraknya dari sebuah zender radio, kita letakkan radio kita dengan frekuensi yang tidak sama, radio kita tidak akan mengeluarkan suara dari zender tersebut. Begitu juga, walaupun Tuhan dikabarkan berada lebih dekat dari kedua urat leher kita, tidak mungkin kontak jika frekuensinya tidak sama.”, kata Syekh Kadirun Yahya.

Bung Karno berdiri dan berucap: “Professor, you are marvelous, you are wonderful, enourmous”. Kemudian dia merangkul dan mencium tangan Syekh Kadirun Yahya lalu berkata: “Profesor, doakan saya agar saya dapat mati dengan senyum di belakang hari”. [3]


REFERENSI

[1] Sufi Jawa, Sang Mandor Klungsu http://sungaisufi.blogspot.co.id/2008/10/sufi-jawa-sang-mandor-klungsu.html

[2] Bung Karno dan 4 Ulama Tasawuf https://www.arrahmah.co.id/2016/08/bung-karno-dan-4-ulama-tasawuf.html

[3] Dialog Bung Karno Dengan Seorang Waliyullah http://risallah-hati.blogspot.co.id/2010/08/dialog-bung-karno-dengan-seorang.html