Belajar dari Kisah Garuda di Candi Kidal


Burung Garuda adalah burung mitos yang telah dikenal lama dalam budaya Jawa dan Bali. Dalam banyak kisah Garuda melambangkan kebajikan, pengetahuan, kekuatan, keberanian, kesetiaan, dan disiplin. Sebagai kendaraan Wishnu, Garuda juga memiliki sifat Wishnu sebagai pemelihara dan penjaga tatanan alam semesta. Dalam tradisi Bali, Garuda dimuliakan sebagai “Tuan segala makhluk yang dapat terbang” dan “Raja agung para burung”. [1]

Salah satu kisah yang cukup populer mengenai Garuda adalah kisah Garuda membebaskan ibunya dari perbudakan yang diabadikan di Candi Kidal. Di Candi Kidal yang dibangun di abad ke-13 ini terdapat tiga relief mengenai burung Garuda. Di relief pertama terdapat gambar Garuda bersama tiga ekor ular naga. Di relief kedua terdapat gambar Garuda mengusung bejana air amerta di atas kepalanya. Di relief ketiga terdapat gambar Garuda menggendong Winata (Ibunya).

Alkisah, ada seorang resi bernama Resi Kasyapa yang memiliki dua orang istri, Kadru dan Winata. Dari perkawinan Resi Kasyapa dan Kadru terlahir 3 anak berwujud ular naga yang nakal-nakal dan sering menghilang di balik semak-semak. Dari perkawinan Resi Kasyapa dan Winata terlahir 2 orang anak; yang satu berwujud Garuda dan yang yang satunya cacat tak berkaki, yang dinamai Anaruh. [2]

Kadru yang pemalas merasa bosan mengurusi anak-anaknya yang nakal. Timbul niat jahatnya untuk menyerahkan tugas pengasuhan kepada Winata. Ia mengajak Winata bertaruh, dimana barangsiapa kalah dalam pertaruhan itu harus menjadi budak bagi yang menang. Taruhannya adalah menebak apa warna ekor kuda Uraiswara yang sedang berlari kencang di gigir cakrawala. [3]

Sang Kakak (Kadru) mengatakan: “Hitam”. Adiknya (Winata) yakin “Putih”. Ketika saatnya tiba, ternyata memang ekor Kuda itu berwarna putih. Kakaknya tidak mau kalah. Ia memerintahkan anak-anaknya untuk menyembur atau menyemprotkan ludahnya ke ekor kuda agar hilang warna putihnya. Singkat kata akhirnya ekor kuda itu cenderung hitam dibanding putih. Maka sang Adik kalah dan menjadi budak Kakaknya sendiri. [3]

Sejak saat itu Winata diperintahkan melayani segala keperluan Kadru serta mengasuh ketiga ular naga anaknya setiap hari. Winata selanjutnya meminta pertolongan Garuda untuk membantu tugas-tugas tersebut. Inilah yang diceritakan pada relief pertama, dimana dilukiskan Garuda menggendong 3 ular naga. [2]

Ketika Garuda tumbuh dewasa, ia merasa heran dengan keadaan dirinya dengan saudara-saudaranya. Ia bertanya kepada Winata (ibunya) kenapa ia dan ibunya menjadi budak para naga dan bibinya. Sang Ibu pun lantas menceritakan kembali asal usul perbudakan itu; Garuda lalu mendatangi para ular naga dan meminta agar perbudakan itu dihentikan. Para ular naga itu memberikan syarat Garuda dan ibunya akan dibebaskan dari perbudakan asalkan ia berhasil membawakan air suci amerta untuk para ular naga.

Garuda menyanggupi permintaan itu dan segara ia berangkat ke kahyangan setelah meminta izin ibunya. Para dewa penghuni kahyangan tidak mengijinkan Garuda mengambil air suci amerta, maka terjadilah peperangan di kahyangan. Berkat kesaktian Garuda, para dewa kewalahan, sampai kemudian Dewa Wisnu sendiri yang turun tangan, barulah Garuda dapat ditundukkan. Ditengah kekalahannya, Garuda menceritakan niatnya untuk membebaskan ibunya dari parbudakan para ular naga.

Dewa Wisnu maklum dengan permintaan itu dan memperbolehkan Garuda membawa air suci amerta dengan syarat Garuda bersedia menjadi tunggangan Dewa Wisnu. Garuda menyetujui dan ia kembali turun ke bumi membawa bejana air suci amerta di atas kepalanya. Inilah yang dilukiskan pada relief kedua.

Dengan bekal air suci amerta inilah akhirnya Garuda dapat membebaskan ibunya dari perbudakan para naga dan Kadru. Hal ini digambarkan pada relief ketiga dimana Garuda dengan gagah perkasa menggendong ibunya dan bebas dari perbudakan.

Bagi bangsa yang berjatidiri Garuda[4], kisah yang diabadikan di Candi Kidal ini dapat dijadikan pelajaran penting baik sebagai individu maupun sebagai bangsa. Sebagai individu, kisah itu memberikan ilustrasi bahwa perjuangan setiap orang untuk keluar dari perbudakan hawa nafsu dan syahwat adalah dengan cara menyatukan diri dengan Tuhan. (Manunggaling Kawula dan Gusti).

Sebagai bangsa, kisah itu memberikan ilustrasi bahwa perjuangan bangsa (yang berjati diri garuda) untuk membebaskan ibu pertiwi dari berbagai macam penjajahan (fisik, politik, ekonomi, budaya, dll) adalah dengan cara merevitalisasi Prinsip Ketuhanan (“Negara yang Bertuhan”, sebagaimana yang Bung Karno katakan) dan menyerahkan kepengurusan negara ini kepada mereka yang telah menyatukan diri dengan Tuhan. (Manunggaling Kawula dan Gusti)

Dalam sebuah negara yang para pemimpinnya adalah manusia yang telah bersatu dengan Tuhannya, segenap hukum dan perundang-undangnya dijiwai prinsip ketuhanan, dan masyarakatnya beriman dan bertaqwa kepada-Nya, Tuhan akan melimpahkan berkah-Nya dari langit dan bumi:

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi (QS. Al-A’raaf 7:96)

CATATAN KAKI

[1] Lambang negara Indonesia https://id.wikipedia.org/wiki/Lambang_negara_Indonesia
[2] Candi Kidal https://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Kidal
[3] Garuda Menebus Ibu Pertiwi https://www.caknun.com/2017/Garuda-menebus-ibu-pertiwi/
[4] Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berjatidiri Garuda dan menjadikan Garuda Pancasila sebagai Lambang Negara.