Arete dalam Islam, Nasrani, dan Hindu

Dalam negara ideal plato (dan aristoteles), negara diperlukan kehadirannya dalam menjamin keberlangsungan kehidupan manusia/komunitas, menata (mengatur) interaksi antar individu dalam masyarakat (warga negara) itu agar tercapai tujuan kemanusiaan-nya; serta membagi-bagi peran warga negara sesuai dengan arete-nya. Seni dalam penataan atau pengaturan warga negara itulah yang disebut dengan politik.

Arete dalam bahasa Indonesia berarti “peran” atau “keahlian”. Dalam pandangan teologis: bahwa segala sesuatu mempunyai maksud penciptaan. Dengan demikian kata tersebut bermakna “peran suci” atau “keahlian yang sesuai dengan maksud penciptaan”, misalnya: arete mata adalah melihat, arete telinga adalah mendengar, atau arete pisau adalah memotong.

Sejauh yang saya tahu, para pengusung gagasan khilafah, tidak pernah membicarakan arete atau peran suci warga negara sesuai dengan maksud penciptaannya. Yang dibicarakan mereka hanyalah perlunya kepemimpinan global dalam urusan agama dan umat; sementara itu mereka juga meyakini bahwa demokrasi ala utsmanlah yang terbaik untuk digunakan sebagai mekanisme pemilihan khilafah.

Menurut kedua sumber hukum islam, bentuk pemerintahan tidaklah menjadi pokok bahasan. Al-Quran bukan hanya membicarakan khalifah, melainkan juga imam, rasul, nabi dan raja. Allah sendirilah yang menentukan siapa yang berhak menjadi pemimpin, yang sudah barang tentu didasarkan kepada arete-nya, yakni cetak biru Tuhan dalam Lauh Mahfudz.

Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi. (QS. Shaad 38:26)

Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.” (QS. Al-Baqarah 2:247)

Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga ‘Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing), (QS. Ali ‘Imraan 3:33)

Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki.” (QS. Ali ‘Imraan 3:26)

Dengan demikian, berbagai contoh mekanisme pemilihan pemimpin, baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah dapat dipandang sebagai upaya untuk memahami kehendak Tuhan: musyawarah (Qs. Ali ‘Imraan 3:159), perantaraan orang suci (QS. Al-Baqarah 2:246-247), penunjukan langsung (QS. Al-Hajj 22:75), perwakilan (pemilihan Utsman bin Affan), dan referendum (pemilihan Ali bin Abi Thalib).

Berikut ini beberapa dalil mengenai perlunya seseorang mencari aretenya masing masing dan bekerja sesuai dengan aretenya itu. Sudah barang tentu akan lebih baik jika negara berperan aktif dalam membantu dan mendidik warga negaranya dalam menemukan arete mereka.

…(Ya Rasulullah) apakah gunanya amal orang-orang yang beramal?” Beliau SAW menjawab, “Tiap-tiap diri bekerja sesuai dengan untuk apa dia diciptakan, atau menurut apa yang dimudahkan kepadanya. (H.R. Bukhari no. 1777)

Dari Imran r.a., saya bertanya, “Ya Rasulullah, apa dasarnya amal orang yang beramal?” Rasulullah SAW menjawab, “Tiap-tiap diri dimudahkan mengerjakan sebagaimana dia telah diciptakan untuk itu.” (H.R. Bukhari no. 2026)

Yudi Latif dan artikelnya yang berjudul “Pendidikan Tanpa Mendidik” menjelaskan konsep pendidikan yang berasal dari bahasa latin “educare” yang berarti mengeluarkan dan menuntun, dalam arti mengaktifkan kekuatan terpendam bawaan sang anak. Dengan perkataan lain, pendidikan seharusnya ditujukan untuk membantu menemukan arete masing-masing anak didik.

Konsepsi mengenai ARETE tidak hanya milik Aristoteles dan Islam. Lagu rohani umat kristiani berikut ini memiliki semangat yang sama, yakni hendaknya kita bisa memasrahkan hidup sepenuhnya berdasarkan pengaturan-Nya, yakni menjalani kehidupan berdasarkan ARETE kita masing-masing.

BEJANAMU

Kekuatan di jiwaku
Ketenangan batinku
Ada dalam hadiratMu
Ku menyembahMu

Tersungkur di kakiMu
Rasakan hadiratMu
Tak ‘kan ku melepaskanMu
Kau cahaya bagiku

MengiringMu seumur hidupku
Masuk dalam rencanaMu Bapa
Fikiranku, kehendakku
Ku serahkan padaMu

Harapanku hanya di dalamMu
Ku ‘kan teguh bersamaMu Tuhan
Jadikanku bejanaMu
Untuk kemuliaanMu

Konsep ARETE dalam khazanah hindu disebut dengan dharma. Kita tentu mengetahui bahwa yang tertulis di bawah lambang garuda yang lebih lengkap adalah “Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangwra” (Berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Tiada dharma yang sama).

Semoga suatu saat nanti potongan frasa “Tan Hana Dharma Mangwra” ini dipasangkan kembali dan bangsa kita menjadi bangsa yang senantiasa bertasbih kepada Tuhan Semesta Alam-alam. Sebagaimana planet-planet tidak akan bertubrukan karena mereka memiliki JALAN masing-masing dalam mengitari matahari, demikian pulalah kiranya manusia tidak akan berebut rezeki ketika masing-masing menjalankan ARETE-nya sendiri.

Berikut ini penjelasan dharma dalam agama hindu:

Arjuna bertanya, “Apa itu dharma & adharma?”

Krishna menjawab, ” Dharma adalah jalan yg membawa manusia menyadari dirinya sebagai percikan terkecil Tuhan. Jika menyadari dirinya sebagai percikan terkecil Tuhan, maka hatinya akan dipenuhi belas kasih. Adapun adharma adalah jalan yg menjauhkan manusia dari Tuhan yang hanya mementingkan diri sendiri & memberi penderitaan pada orang lain.” (Bhagawadgita)

“Hai Arjuna, lebih baik menjalankan dharmamu sendiri meskipun tidak sempurna, daripada menjalankan dharma orang lain walaupun dengan sempurna. Lebih baik mati ketika menjalankan dharma sendiri, karena menjalankan dharma orang lain itu bahaya.” (Bhagawadgita)