Syariat Agama vs Syariat Pasar

Memaksakan penerapan Syariat Islam sebagai hukum positif di Indonesia sudah barang tentu bertentangan dengan Pancasila dan organisasi yang mengusungnya sudah selayaknya dianggap sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah NKRI.

Akan tetapi penerapan “SYARIAT AGAMA” di area publik jauh lebih baik dari pada “SYARIAT PASAR” yang dibawa oleh kaum neolib. SYARIAT AGAMA yang saya maksud adalah kompromi optimal dari nilai-nilai yang dikandung dalam ajaran “agama resmi” negara (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu cu).

SYARIAT AGAMA ini adalah pengejawantahan Sila Pertama Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa. Sejarah mencatat, dalam Pidato Lahirnya Pancasila, Bung Karno menyatakan:

“Disinilah, dalam pangkuan azas yang kelima inilah, saudara-saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan bertuhan pula!” (ed: azas kelima yang dimaksud ketika itu adalah Ketuhanan)

Yang kita dirikan ini bukanlah negara agama islam, bukan pula negara agama kristen, akan tetapi negara yang berdasar kepada banyak agama. Bung Karno mengatakan dengan tegas “Negara yang Bertuhan”. Dengan demikian segenap hukum dan undang-undang yang berlaku di negara ini tidak boleh ada yang bertentangan dengan agama manapun.

Jadi jelaslah kiranya bahwa yang seharusnya kita pakai di ranah publik adalah SYARIAT AGAMA, bukan SYARIAT PASAR.

SYARIAT PASAR secara nyata telah melumpuhkan sendi-sendi kehidupan bangsa dalam bidang politik, ekonomi dan budaya. Semua partai politik tak berdaya melawan kepentingan kaum neolib; DPR tersandera sedemikian sehingga lahir berbagai undang-undang yang secara nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila dan hanya menguntungkan kaum kapitalis.

Persoalan-persoalan bangsa lainnya pada hakekatnya adalah turunan dari hal itu: runtuhnya nilai-nilai, korupsi, kemiskinan, kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin, kerusakan lingkungan akibat eksplotasi SDA yang berlebihan tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan, disintegrasi bangsa, narkoba, dll.

CONTOH-CONTOH SYARIAT DI RANAH PUBLIK:

* Alih-alih memposisikan pemerintah sebagai penjaga malam pasar (Syariah Pasar), kita memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melindungi pelaku bisnis kecil dari kanibalisme bisnis besar (Syariah Agama)

* Alih-alaih membiarkan masyarakat sebagai target konsumen (Syariah Pasar), kita memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melindungi konsumen dengan upaya-upaya pro-aktif: pengawasan iklan, pembatasan iklan, dsb (Syariah Agama)

* Alih-alaih membiarkan terjadinya kerusakan lingkungan akibat eksplotasi SDA yang berlebihan atas nama pembangunan (Syariah Pasar), kita memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk membuat aturan yang ketat atas pengelolaan SDA agar terjadi harmonisasi dengan alam. (Syariah Agama)

* Alih-alaih membiarkan terjadinya ekploitasi buruh di pabrik-pabrik secara tidak manusiawi (Syariah Pasar), kita memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk secara aktif melindungi hak-hak kaum buruh. (Syariah Agama)

* Alih-alih membiarkan masyarakat melakukan kegiatan perjudian, narkoba, pelacuran, dan lgbt (Syariah Pasar), kita memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan pelarangan dan menjatuhkan hukuman atas perilaku itu. (Syariah Agama)