Dalam Ekonomi Pancasila, negara harus benar-benar memiliki keberpihakan kepada yang lemah (kaum dhuafa), bukan sekedar menolong yang lemah agar dapat bertahan hidup. Hal itu dapat dilakukan dengan berbagai cara sebagai berikut:
(1) Pengelolaan SDA dan Cabang Ekonomi Penting
(2) Zakat dkk (ZIS: zakat, infaq, shadaqah, persepuluhan, dan sumbangan atas nama agama lainnya).
(3) Pajak Progresif
(4) Anti Kemewahan
(5) Keberpihakan kepada Koperasi dan UKM
(6) Dhuafa dan Anak Yatim
(1) PENGELOLAAN SDA DAN CABANG EKONOMI PENTING
Dalam Negara Pancasila dianut prinsip bahwa bumi, air, ruang angkasa dan semua yang dikandung didalamnya adalah milik negara. Kepemilikian negara ini kemudian diberikan sebagian kepada warga negara dalam bentuk hak milik dan hak guna. Khusus untuk sumber daya alam (SDA) tetap dimiliki dan dikelola oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai dan dikelola oleh negara. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada ditangan orang-seorang.
Kedua prinsip ini sebenarnya telah ada dalam UUD 45, yakni pasal 33. Hal itu diperkuat oleh bagian penjelasannya:
- Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.
- Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang! Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasnya.
- Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada ditangan orang-seorang.
- Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Akan tetapi, pada tahun 2002, bagian penjelasan itu tidak dianggap lagi sebagai kesatuan dengan batang tubuhnya. Baik sebelum maupun sesudah 2002 terdapat banyak undang-undang yang menafikan kepemilikan negara atas SDA itu.
Pada tahun 1967, dibuatlah UU No 1 yang menjelaskan bidang-bidang usaha yang dianggap penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Pasal 6 ayat 1 UU No 1 tahun 1967 berbunyi: ”Bidang-bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal asing secara penguasaan penuh ialah bidang-bidang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak.” Ada delapan hal yang disebutkan yakni pelabuhan, listrik, telekomunikasi, pelajaran, penerbangan, air minum, kereta api umum, tenaga atom dan media massa.
Akan tetapi, pada 1968 dikeluarkan UU No 6 mengenai penanaman modal dalam negeri yang membuka pintu masuk bagi investasi asing. Pasal 3 ayat 1 disebutkan, pihak asing hanya boleh kuasai 49 persen yang menguasai hajat hidup orang banyak. Namun ada ketentuan bahwa 51 persen porsi investor Indonesia itu harus ditingkatkan menjadi 75 persen.
Pada tahun 1994 dikeluarkan PP No 20 yang semakin membuka masuknya modal asing dengan hanya menentukan batas 5 persen bagi kepemilikan Indonesia. “Jadi ini seperti menantang atau meremehkan UUD 1945 pasal 33,” kata Kwik Kian Gie.
Pada tahun 2015, Ahmad Basarah menilai telah ada sekitar 173 undang-undang yang berpihak pada asing dan tak sesuai dengan Pancasila (reportaseindonesia.com, 29/8/2015).
Dengan demikian ada banyak pekerjaan rumah kita agar poin ini dapat dilaksanakan secara murni dan konsekuen yang memungkinkan negara memiliki kekayaan yang memadai untuk menjalankan agenda “Keberpihakan kepada Yang Lemah”.
(2) ZAKAT DKK (ZIS: ZAKAT, INFAQ, SHADAQAH, PERSEPULUHAN, DAN SUMBANGAN ATAS NAMA AGAMA LAINNYA).
Ekonomi Pancasila didasarkan pada prinsip bahwa pada harta orang kaya terdapat hak kaum dhuafa (kaum dhuafa adalah golongan manusia yang lemah. Mereka hidup dalam kemiskinan, kesengsaraan, ketakberdayaan, ketertindasan, dan penderitaan).
Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapatkan bahagian (QS. Adz-Dzariyat: 19).
Aku tidak pernah melihat adanya kenikmatan yang berlimpah ruah, kecuali di sana ada hak yang terabaikan. Tiap kenikmatan yang dirasakan orang kaya adalah kelaparan yang diderita orang miskin. (Ali bin Abi Thalib)
Atas dasar ini, negara/pemerintah dan pejabat negara/pemerintah hendaknya dapat menjadi sandaran bagi kaum dhuafa dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Para pejabat negara/pemerintah hendaknya mengikuti nasehat Ali bin Abi Thalib berikut:
Jadilah kamu musuh orang zalim dan sahabat orang tertindas (Ali bin Abi Thalib)
Hendaknya ada perundang-undangan yang mengatur transfer kekayaan dari kaum kaya kepada kaum dhuafa.
Hai orang-orang yang beriman, keluarkanlah/nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. (QS. Al-Baqarah: 267).
Ayat di atas biasanya digunakan sebagai dalil bagi penarikan ZIS (zakat, infaq, shadaqah). Oleh karena ini adalah Negara Pancasila, dimana warga negara memiliki agama yang berbeda, maka urusan ZIS diserahkan sepenuhnya kepada umat islam. Sementara itu, negara membuat keringanan bagi para pembayar ZIS dalam urusan pajak dengan tidak menganggap ZIS sebagai bagian dari kekayaan. Dengan demikian, hal ini akan memperbesar arus uang ZIS yang mengalir di antara kaum muslimin. Pada gilirannya, negara juga memberikan keringanan yang sama bagi mereka yang melaksanakan aturan “persepuluhan” dan berbagai sumbangan lain atas nama agama.
Membayar persepuluhan berarti memberikan 10% dari pendapatan ke organisasi gereja (atau ke persekutuan hari minggu). Uang ini kemudian dipergunakan untuk mendukung anggaran belanja gereja (membayar sewa, tagihan, gaji karyawan, misi, dll). Bagi banyak orang, tidak membayar persepuluhan dianggap berdosa.
(3) PAJAK PROGRESIF
Salah satu cara untuk mengurangi kesenjangan antara orang kaya dengan orang miskin adalah pengenakan pajak progresif. Konsep dasar pajak progresif adalah memungut sebagian penghasilan orang kaya untuk didistribusikan kepada rakyat banyak. Pemikiran pajak progresif ini pernah digagas oleh beberapa anggota DPR dan Direktur INDEF pada tahun 2012.
Menurut Ahmad Erani Yustika (Direktur INDEF), idealnya, untuk orang yang berpenghasilan di atas Rp 1 miliar, tarif pajaknya harus dinaikkan menjadi 35 persen, sedangkan untuk yang berpenghasilan di atas Rp 5 miliar per tahun menjadi 40 persen. “Ini harusnya mulai diberlakukan 2013 nanti,” katanya. [2]. Penetapan besarnya tarif pajak, masih terbuka lebar untuk didiskusikan. Yang menjadi poin disini adalah bahwa gagasan pajak progresif itu bukanlah gagasan baru, melainkan ada banyak pihak yang telah terlebih dahulu memikirkannya.
Di satu sisi kita perlu memberlakukan pajak progresif untuk mengurangi kesenjangan, di sisi lain kita perlu mengurangi beban pajak rakyat kebanyakan sesuai dengan kemampuan negara. Melihat potensi kekayaan alam Indonesia yang luar biasa; jika hal ini dekelola dengan baik, maka kita bisa mengenakan pajak 0% untuk rakyat kebanyakan. Sementara itu pajak progresif tetap diberlakukan agar kesenjangan ekonomi semakin mengecil.
(4) ANTI KEMEWAHAN
Dalam negara Pancasila hak kepemilikian pribadi dihargai dan tidak ada larangan menjadi kaya. Yang dilarang adalah memamerkan kemewahan didepan publik. Negara hendaknya mengatur agar pemanfaatan hak milik pribadi tidak melukai perasaan kaum dhuafa:
- Pemanfaatan hak milik pribadi tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum.
- Larangan pemakaian barang-barang mewah di depan publik.
Pelanggaran akan hal ini bisa dikenakan sanksi hukum; bahkan lebih berat jika yang melakukannya adalah pegawai negara/pemerintah, karena mereka harus menjadi contoh bagi penegakan gerakan hidup sederhana.
(5) KEBERPIHAKAN KEPADA KOPERASI DAN UKM
Dalam UUD 45 disebutkan bahwa perekonomian sebagai usaha bersama dengan berdasarkan atas azas kekeluargaan. Yang dimaksud dengan hal itu adalah koperasi, karena koperasilah yang menyatakan kerjasama antara mereka yang berusaha sebagai suatu keluarga. Di sini tak ada pertentangan antara majikan dan buruh, antara pemimpin dan pekerja (Hatta, 1951, dalam Hatta, 1954: 203).
Kita harus menjadikan koperasi sebagai saka guru perekonomian Indonesia. Dan negara memiliki keberpihakan yang jelas kepada koperasi dan UKM dibandingkan dengan para pemodal besar. Hal ini dapat dilakukan dengan menyusun kebijakan bahwa yang dijadikan partner negara/pemerintah diutamakan berbadan hukum koperasi atau UKM. Negara/pemerintah hendaknya juga memberikan kemudahan dan dukungan yang memadai kepada Koperasi dan UKM dalam arti yang seluas-luasnya.
Dengan menjadikan koperasi sebagai saka guru perekonomian maka akan semakin banyak uang yang beredar di kalangan menengah dan bawah. Hal ini, selain mengurangi kesenjangan ekonomi juga meratakan kesejahteraan.
(6) DHUAFA DAN ANAK YATIM
Dalam UUD terdapat ayat: Fakir miskin, anak-anak yatim, dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Ketiga golongan ini dapat digolongkan sebagai kaum dhuafa.
Gagasan Andersen mengenai Welfare State (Negara Kesejahteraan) dapat diterapkan dalam urusan dengan kaum dhuafa:
- memastikan setiap warga negara beserta keluarganya memperoleh pendapatan minimum sesuai dengan standar kelayakan.
- memberikan layanan sosial bagi setiap permasalahan yang dialami warga negara (baik dikarenakan sakit, tua, atau menganggur), serta kondisi lain semisal krisis ekonomi.
- memastikan setiap warga negara mendapatkan hak-haknya tanpa memandang perbedaan status, kelas ekonomi, dan perbedaan lain.
(Andersen, J,G, Welfare States and Welfare State Theory, Centre for Comparative Welfare Studies, Working Paper, 2012.)
Kita perlu membicarakan secara terpisah urusan anak yatim, baik anak yatim yang miskin, maupun anak yatim yang memiliki harta peninggalan yang banyak. Alasanya adalah karena urusan anak yatim sangat ditonjolkan dalam Al-Qur’an. Ada banyak sekali ayat-ayat yang membahas hal itu. Saya yakin, hikmah dibalik pemeliharaan anak yatim juga luar biasa.
Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah: “Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. (QS. Al-Baqarah 2:220)
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. (QS. An-Nisaa’ 4:2)
Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.” Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya. (QS. Al-Baqarah 2:215)
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu). (QS. An-Nisaa’ 4:6)
Negara hendaknya menyusun berbagai peraturan perundang-undangan khusus untuk pemeliharaan anak yatim ini sampai mereka akil baligh.
Post a Comment
Post a Comment