Swadesi

Adalah Mahatma Gandhi yang memopulerkan istilah swadesi (kerap pula ditulis dengan “swadeshi”). Bapak pergerakan nasional India ini menggunakan gerakan swadesi sebagai inti atau jiwa dari swaraj. Jika di India ada Mahatma Gandhi (lahir: 1869) yang menyerukan “swaraj”, di Indonesia dalam kurun waktu yang berdekatan ada HOS Cokroaminoto (lahir: 1882) yang menyerukan “zelf bestuur”. Swaraj dan zelf bestuur punya makna yang sama, yakni “pemerintahan sendiri”.

Kata swadeshi adalah gabungan dari dua kata dalam bahasa Sanskerta, Swa yang berarti “diri” atau “mandiri” atau “sendiri” dan Desh yang berarti “negara”. Bila digabungkan, artinya menjadi “negara sendiri”. Jadi swadeshi adalah sebuah pemikiran atau gerakan untuk mengutamakan kepentingan negara sendiri dibandingkan dengan kepentingan negara lain.

Bung Karno mengadopsi gagasan swadesi dan menamakannya berdikari (BERdiri DI atas KAki sendiRI). Dalam pidatonya pada tanggal 17 Agustus 1965, Bung Karno mengemukakan tiga prinsip berdikari, yakni (1) berdaulat dalam bidang politik, (2) berdikari dalam bidang ekonomi dan (3) berkepribadian dalam kebudayaan. Ketiga hal tersebut saling terkait dan tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Menurutnya, tidak mungkin akan ada kedaulatan dalam politik dan berkepribadian dalam kebudayaan, bila tidak berdikari dalam ekonomi. Demikian pula sebaiknya. Ketiga prinsip berdikari itu disebut pula Trisakti.

Menggagas berbagai pemikiran dalam kerangka berdikari dalam bidang ekonomi akan berhadapan dengan arus pemikiran mainstream mengenai globalisasi. Kita memang sudah merdeka sejak tahun 1945, tetapi pikiran kita masih terbelenggu dengan pikiran-pikiran yang dominan atau main stream thoughts dari masyarakat internasional. Ada semacam ketakutan untuk berseberangan dengan arus utama itu berupa akan diisolasinya Indonesia dari masyarakat internasional. Kita perlu belajar dari negara-negara yang berani melawan hegemoni dunia berikut dengan segala konsekuensinya: Malaysia, Iran, China, Venezuela.

Globalisasi adalah tahapan yang lebih canggih dari neoLiberalisme dengan argumen yang nampak masuk akal: Dengan globalisasi tak ada lagi sekat-sekat antarnegara dan antarras. Suatu bangsa tidak mungkin lagi mengatasi berbagai persoalan hidupnya sendirian, perlu dilakukan kerjasama antarabangsa dunia. Dengan globalisasi, negara-negara kaya akan mendapat peluang untuk menolong negara-negara miskin, dengan cara mengalirkan modal dan investasi.

Globalisasi memungkinkan para pemilik modal raksasa dapat melakukan ekspansi besar-besaran ke seluruh pelosok bumi, mulai dari toko kelontong yang buka cabang di berbagai negara (Walmart, Circle K, dll), hingga perusahaan penanaman jagung dan padi. Ini sudah barang tentu mematikan para pengusaha lokal yang sebelumnya terlindungi dari persaingan global dengan adanya sekat antar negara.

Pada akhirnya, globalisasi memungkinkan penghisapan kelas elit di negeri maju terhadap kaum miskin di negeri berkembang menjadi semakin hebat. Sementara kelas berkuasa negara setempat bertindak sebagai abdi setia para kapitalis global ini.

Dalam rangka membangun kekuatan nasional, kita musti berani ikut ambil bagian dalam gerakan anti globalisasi dengan membongkar berbagai kamuflase globalisasi, menumbangkan doktrin-doktrin anti nasionalisme, menumbuhkan semangat berdikari, dan memperjuangkan “kesepakatan global yang baru” yakni tata ekonomi internasional yang demokratis dan egaliter. Salah satu langkah penting untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan menentang dan merevisi naskah mengenai globalisasi yang ada saat ini untuk memangkas dominasi gagasan-gagasan neoliberal di dalamnya, dan menggantinya dengan rumusan etika ekonomi dan politik global yang lebih demokratis.

Foto: Mahatma Gandhi (youtube.com)