Konsepsi Khilafah

Di majelis ini, kita perlu membicarakan persoalan khilafah, karena banyak muslim yang percaya bahwa khilafah adalah sistem yang terbaik. Padahal, tidak ada dalil jelas mengenai sistem khilafah atau khalifah, baik dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Itulah sebabnya persoalan ini menjadi perdebatan berabad-abad lamanya.

Kepemimpinan adalah sesuatu yang sangat penting. Tanpa adanya pemimpin, bagaimana eksistensi Umat Islam dapat terus dipertahankan. Kenapa tidak ada rujukan yang jelas didalam dua sumber hukum islam? Dalilnya bukan tidak ada, akan tetapi dalil itu bukan mengenai BENTUK melainkan ESENSI. Khilafah adalah bentuk pemerintahan, sementara kepemimpinan adalah esensinya.

  • Jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya (HR Abu Dawud dari Abu Hurairah)
  • Haram bagi tiga orang yang menetap di sebuah ladang di muka bumi ini, kecuali salah seorang dari mereka menjadi pemimpin teman-temannya (HR. Abu Dawud)

Dua hadits di atas sering dikutip sebagai dalil wajibnya khilafah. Dengan demikian, adanya pemimpin dalam sebuah komunitas adalah wajib, akan tetapi bagaimana mekanisme pemilihan pemimpin, islam tidak mengaturnya. Bahkan, dalam sejarah empat khulafaur rasyidin terdapat empat cara mekanisme pemilihan mereka. Dan setelah itu, sampai dengan tahun 1924 (yang dipercaya sebagai berakhirnya masa kekhalifahan), kebanyakan khalifahnya adalah monarki.

Khilafah maknanya adalah pengganti, yakni pemimpin pengganti Rasulullah. Dalam hal ini yang digantikan adalah kepemimpinan dalam bidang agama (kerasulan) dan umat (kepemimpinan umat). Kedua urusan ini, bisa menyatu dalam satu orang, tetapi juga bisa tidak.

Tugas-tugas kerasulan (kepemimpinan agama), diwakili keberadaannya oleh para ulama. Sementara itu, kepemimpinan umat, diwakili keberadaannya oleh para penguasa. Yang terpilih menjadi ulama, sudah barang tentu adalah mereka yang memiliki kualitas keulamaan: penguasaan akan ilmu agamanya, ketaqwaannya, kezuhudannya, dll. Sementara itu tidak ada persyaratan seperti itu dalam hubungannya dengan penguasa. Bahkan ada hadist yang berbunyi sbb:

Saya memberi wasiat kepada kalian agar tetap bertaqwa kepada Allah ‘azza wa jalla, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memerintah kalian seorang hamba sahaya (budak) (HR. Abu Daud dan At Tirmidzi)

“Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku dan tidak pula melaksanakan sunnahku. Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia. “

Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?”

Beliau bersabda, ”Dengarlah dan ta’at kepada pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka.” (HR. Muslim no. 1847)

Konsepsi khilafah yang didengung-dengungkan saat ini adalah sebuah kepemimpinan global dalam urusan agama dan umat dengan cara pemilihan sebagaimana zaman Utsman bin Affan. Gagasan ini secara terbuka dinyatakan oleh HTI, dan secara diam-diam diamini oleh banyak golongan umat Islam.

Per-definisi, satu-satunya orang yang pernah menjabat sebagai khilafah di muka bumi adalah Utsman; bahkan Nabi-pun tidak termasuk didalamnya, tidak juga Abu Bakar, Umar, dan Ali. Menurut saya, gagasan seperti itu adalah sesuatu yang utopis; selain tidak ada nash yang jelas, gagasan ini tidak membumi. Wallahu ‘alam.

Lihat Juga: Alternatif Khilafah, Perjuangan Esensi, Bukan Bentuk.