Ekonomi Pancasila: Sebuah Pengantar


Saat ini, satu-satunya sistem ekonomi yang “hidup” adalah ekonomi neo-liberal. Dengan berakhirnya perang dingin di tahun 1990 yang ditandai dengan peruntuhan tembok Berlin; dan Mikhail Gorbachev di Rusia menggunakan kebijakan glasnost (keterbukaan); maka Amerika Serikat menjadi negara adikuasa satu-satunya di dunia. Ini sekaligus menandai dimulainya kebijakan ekonomi liberal di hampir seluruh dunia dengan berbagai varian-nya.

Kita telah ketahui bersama, bahwa NeoLiberalisme yang mengusung kebebasan individu justru menjadi sumber dari perbudakan di pabrik-pabrik. Keserakahan para pemilik modal memicu mereka memperkerjakan sesama manusia dengan gaji dan lingkungan kerja yang di luar prikemanusiaan. Keserakahan para pemilik modal memicu kerusakan hutan dan lingkungan di negara-negara ketiga. Menurut FAO hampir 7,3 juta hektar hutan di seluruh dunia hilang setiap tahunnya. NeoLiberalisme telah menyebabkan bencana kelaparan yang terjadi di Yaman, Sudan Selatan, Somalia dan Nigeria yang notabene adalah negara-negara yang memiliki kekayaan alam yang luar biasa.

Berbagai perlawanan terhadap neolib di seluruh dunia sudah mulai berlangsung. Banyak pihak sudah tidak percaya lagi dengan mitos-mitos yang dihembuskan kaum neo-liberal tentang pasar bebas. Demonstrasi besar-besaran digelar di setiap rapat-rapat tahunan WTO, IMF atau Bank Dunia. Gerakan perlawanan ini bermunculan di mana-mana di berbagai negara di dunia, mulai dari Swiss hingga Prancis, Kanada, Swedia, Italia, Spanyol, Washington DC, Skotlandia, Jepang, Korea Selatan serta di berbagai negara di wilayah Amerika Latin. Gerakan anti-neoliberalisme yang paling mutakhir terjadi di Hamburg, Jerman ketika KTT G20 sedang berlangsung.

Dalam hal perlawanan konseptual, beberapa kalangan mencoba mengusung gagasan Ekonomi Pancasila. Akan tetapi gagasan ini masih berupa gelondongan gagasan yang belum dapat diejawantahkan sebagai alternatif solusi. Beberapa gagasan mengenai Ekonomi Pancasila dapat anda nikmati di kanal Ekonomi situs ini.