Inggit Garnasih

Saat itu akhir bulan juni 1921. Soekarno terpesona pada pandangan pertama. Ini cerita bukan lagi tentang Siti Oetari, melainkan Inggit Garnasih, wanita kedua dalam hidup Soekarno yang setia mendampinginya keluar masuk penjara dan tanah buangan.

“Keberuntungan yang utama itu sedang berdiri di pintu masuk dalam suasana setengah gelap dibingkai lingkaran cahaya dari belakang. Dia memiliki tubuh yang kecil, dengan sekuntum bunga merah menyolok di sanggulnya dan sebuah senyuman yang mempesona. Dia adalah istri Haji Sanusi, Inggit Garnasih. Oh, luar biasa perempuan ini,” kata Soekarno dalam biografinya yang ditulis Cindy Adams. [1]

Sebenarnya ini adalah sesuatu yang memalukan. Tapi itulah cinta. Kala itu Soekarno menginjakkan kaki pertama kali ke Bandung untuk melanjutkan sekolah di Teknik Sipil ITB, ditemani Siti Oetari istrinya. Sebelumnya Pak Cokro sudah mengontak koleganya di Serikat Islam Bandung. Haji Sanusi namanya, yang dengan senang hati menyediakan rumahnya yang berada di Jl Ciateul Bandung sebagai tempat tinggal mereka berdua. Dan Soekarno berdesir hatinya memandang Istri Haji Sanusi yang menyambut mereka di depan pintu.

Tetapi bukan hanya Soekarno yang merasakan kesan mendalam pada pertemuan pertama itu. Demikian pulalah kiranya terjadi dalam diri Inggit Ganarsih. “Dia mengenakan peci beledu hitam kebanggaannya dan pakaian putih-putih. Cukupan tinggi badannya. Ganteng. Anak muda yang bersolek, perlente.” kata Inggit dalam novel biografi Kuantar ke Gerbang yang ditulis Ramadhan KH. [2]

Soekarno saat itu baru berusia 20 tahun, sementara Inggit 33 tahun, dan telah menikah dua kali. Pertama ia menikah dengan Nata Atmaja, seorang patih di Kantor Residen Priangan. Namun, pernikahan ini tidak bertahan lama dan berakhir dengan perceraian. Kemudian, Inggit menikah lagi dengan Haji Sanusi, seorang pengusaha yang juga aktif di organisasi Sarekat Islam.

Saya membayangkan, ini adalah periode penting dalam kehidupan Soekarno; dimana ia mengalami pergolakan batin yang luar biasa. Sayangnya, saya tak menemukan bukti pendukung tambahan, jadi anggap saja ini hasil imaginasi saya sendiri berdasarkan data yang ada.

Masih terngiang olehnya, kata-kata ibunya (Ida Ayu Nyoman Rai) ketika ia masih kanak-kanak, “Engkau sedang memandangi fajar, Nak. Ibu katakan kepadamu, kelak engkau akan menjadi orang yang mulia. Engkau akan menjadi pemimpin dari rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar mulai menyingsing”.

Terngiang pula olehnya, suara ayahnya (R. Soekemi Sosrodihardjo) yang saat melepas Soekarno ke Surabaya untuk bersekolah di HBS mengatakan, “Nak, aku telah merencanakan langkah ini begitu kau dilahirkan ke dunia. Semua telah diaturnya dan engkau akan tinggal di rumah H.O.S. Tjokroaminoto.”

Kini ia telah menjadi murid dan menantu kesayangan pak Cokro. Bersama istrinya, Siti Oetari, ia pergi ke Bandung menjemput masa depan yang sangat jelas terlihat. Akan tetapi, kecantikan Inggit Garnasih dan pelayanannya selama ia di Bandung, menyadarkan dirinya. Ia telah salah pilih pasangan hidup. Ia membayangkan Siti Oetari akan tumbuh seperti ibunya, RA Suharsikin, yang cekatan dan telaten mengurusi keperluan Pak Cokro. Di Bandung, ia menyadari kenyataan, yang lebih mirip Suharsikin justru Inggit Garnasih, bukan Siti Oetari.

Soekarno berharap wanita yang mendampinginya bisa berperan sebagai seorang ibu, sahabat, kekasih, dan pemberi semangatnya. Dan itu tidak ia dapatkan dari Siti Oetari. Di Ciateul, Siti Oetari masih terlihat sangat kekanak-kanakan, hampir tiap hari bermain lompat tali di halaman. Sementara itu Haji Sanusi, entah karena apa, hampir setiap malam keluar rumah menghabiskan waktu dengan main biliar. Suasana yang demikian ini membuat Soekarno dan Inggit Garnasih menjadi semakin dekat dari hari ke hari. Mereka berdua merasa nyaman untuk saling curhat. Dan terjadilah malam jahannam itu. Dan itu terjadi lagi dan lagi.

Akhir Agustus 1921, Pak Cokro ditahan Belanda kerena dituduh telah menggerakkan massa rakyat untuk melawan Belanda. Soekarno dengan terpaksa tidak melanjutkan kuliah. Ia meminta ijin Prof. Klopper, rektor ITB, untuk mengurusi keperluan keluarga Pak Cokro di Surabaya. Suharsikin, istri Pak Cokro telah meninggal di tahun 1919, jadi Ketika Pak Cokro dipenjara, tak ada lagi yang mengurusi adik-adik Siti Oetari.

Sebelum kembali lagi ke Bandung pada Juli 1922, Soekarno telah bulat tekadnya untuk menceraikan Oetari dan menikahi Inggit. Hal itu bukan saja karena ia tak lagi mencintai Oetari, melainkan juga ia telah menemukan jalan perjuangan yang berbeda dengan mertuanya. Ibarat pohon, dalam diri Pak Cokro terdapat benih sosialisme, nasionalisme dan islam. Dan Soekarno tumbuh menjadi cabang nasionalisme dari pohon itu. Hal itu dikemukakannya kepada Ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai di Blitar.

“Ia bukan idamanku, oleh karena itu tidak ada tarikan lahir dan dalam kenyataan kami tak pernah saling mencintai,” tutur Soekarno.

“Sebagai teman seperjuangan, orang yang demikian tidak sanggup menemaniku pada waktu tenagaku terpusat pada penyelamatan dunia ini, sementara ia main bola tangkap…” lanjutnya.

“Siapa yang menyangka setelah umur saya bertambah, datang suatu keyakinan bahwa antara saya dan mertua saya, Pak Cokroaminoto, ada perbedaan paham tentang asas politik pergerakan. Keyakinan saya semakin teguh dan selekasnya bakal terwujud di dalam pergerakan yang berlainan asas politiknya,” kata Soekarno. [1]

Pada saat itu, Soekarno juga menceritakan hubungannya dengan Inggit Ganarsih. Sudah barang tentu, kabar ini ibarat petir di siang bolong bagi keluarga R. Soekemi Sosrodihardjo. Akan tetapi mereka juga memahami, niatan Soekarno tak bisa dihalangi lagi.

Sukarno menikahi Inggit pada 24 Maret 1923, setelah kedua pasangan berpisah secara baik-baik. Soekarno menceraikan Siti Oetari dan mengantarkannya ke Surabaya di awal 1923 itu. Sementara itu Haji Sanusi pada akhirnya juga legowo menceraikan Inggit Ganarsih.

“Eulis, kata Kang Uci (panggilan Sanusi oleh Inggit) dengan terpatah-patah. Aku tahu dia pun terharu menyatakannya. Eulis, ulangnya, Akang telah katakan kepada Kusno (Soekarno), cintailah Inggit dengan sungguh-sungguh dan jangan terlantarkan dia. Saya tidak senang, tidak rela kalau musti melihat Inggit hidup sengsara baik lahir maupun batin. Saya tidak rela kalau sampai mendengar kejadian menimpanya seperti itu.” [2]

Hubungan Soekarno dengan keluarga Cokroaminoto tidak menjadi retak akibat kejadian ini. Saat Soekarno keluar dari penjara Sukamiskin, Bandung, pada 1931, Oetari menemuinya. Oetari menyambut dibebaskannya Soekarno bersama suami, adik, dan ayahnya.

Foto: Inggit Garnasih (pikdo.me)

[1] Sukarno An Autobiography As Told To Cindy Adams
[2] “Kuantar ke Gerbang”, oleh Ramadhan K.H., Inggit Garnasih