Rumah yang ada di dalam foto di atas adalah rumah HOS Cokroaminoto (lahir: 1882), yang berada di Gang Peneleh VII no 29-31 di tepi Sungai Kalimas, Surabaya. Rumah yang lebarnya hanya 9m x 13m ini, di tahun 1915-1921, pernah dihuni oleh keluarga HOS Cokroaminoto bersama dengan 10 ABG kelas menengah yang indekos. Disinilah kisah “akademi cokroaminoto” diuntai. Salah seorang diantara mereka adalah Soekarno, yang saat itu bersekolah di Hogere Burgerschool (HBS). HBS adalah pendidikan menengah umum pada zaman Hindia Belanda (setingkat SMP+SMA zaman sekarang) untuk orang Belanda, Eropa atau elite pribumi dengan bahasa pengantar bahasa Belanda.
Bersama Soekarno (1901), ada Soerjopranoto(1871), Abdoel Moeis (1883), Agus Salim (1884), Alimin (1889), Soewardi Soerjaningrat/Ki Hadjar Dewantara (1889), Musso (1897), Tan Malaka (1897), Semaoen (1899), Kartosuwiryo (1905), dan Buya Hamka (1908). Di wikipedia, hanya Soekarno, Alimin, Musso, Kartosuwiryo yang secara jelas disebutkan pernah indekos di rumah Pak Cokro. Akan tetapi, melihat tahun kelahiran mereka, boleh jadi mereka tidak bersamaan waktunya berguru di akademi Cokroaminoto, dan tidak semuanya bersekolah di HBS sebagaimana Soekarno. Hal yang jelas, kesemua tokoh bangsa yang disebut ini mengenal satu sama lain dan aktif di berbagai organisasi yang berbeda, sambil mereguk sumber mata air yang sama di akademi Cokroaminoto.
Pak Cokro yang kala itu berusia 30-an menjabat sebagai ketua Syarikat Islam (SI), memiliki kumis tebal melintang seperti Pak Raden di serial Unyil. Beliau memang memiliki darah ningrat, dan juga darah warog. Kekek Pak Cokro adalah R.M. Adipati Tjokronegoro, sang bupati Ponorogo. Sepertinya gambaran Pak Raden di serial Unyil bisa mewakili sosok Pak Cokro; tentu saja kita harus menghilangkan “kekonyolan dan kelucuan Pak Raden” itu.
Di rumah Pak Cokro ada gadis mungil cantik khas priyayi jawa bernama Siti Oetari. Dia adalah putri Pak Cokro yang lahir di tahun 1905. Ketika Soekarno indekos disana di tahun 1915, sang gadis baru berusia 10 tahun. Enam tahun kemudian, kala ia berusia 16 tahun, saya membayangkan, sang gadis tumbuh menjadi remaja cantik yang diperebutkan oleh para pemuda indekos yang baru tumbuh kumis.
Dan yang beruntung adalah Soekarno, yang setiap malam bersuara keras berlatih pidato menirukan Pak Cokro sambil menemukan gaya pidatonya sendiri. Diselingi gelak tawa teman-temannya, yang bergembira bersama, sementara di ujung rumah saya membayangkan, Oetari senyum-senyum simpul sambil menyeterika baju sang ayah.
Kisah jadian Soekarno dengan Oetari mirip dengan gaya ABG zaman sekarang. Dikutip dari buku Istri-istri Soekarno (Reni Nuryanti dkk/2007), Soekarno berusaha mendekati Oetari, yang dipanggilnya dengan sebutan Lak. Hingga suatu ketika, dia berhasil mengajak anak sulung Pak Cokro itu jalan-jalan untuk menikmati senja.
Oetari diajaknya duduk. Dipandangnya gadis manis itu dengan tatapan Soekarno yang tajam. Dengan tersenyum perlahan, rayuan maut pun terucap dari lisan Putra Sang Fajar itu.
“Lak, tahukah engkau bakal istriku kelak?”
Oetari hanya menggeleng menanggapi pertanyaan itu.
Soekarno kemudian kembali bertanya, “Kau ingin tahu?”
Sedikit penasaran, Oetari pun bertanya, “Di mana?”
“Kau ingin tahu? Boleh… Orangnya dekat sini. Kau tak usah beranjak karena orangnya ada di sebelahku…” tutur Soekarno.
Oetari tidak menyangka dengan ucapan itu. Dia hanya dapat tersenyum dan terdiam beberapa lama. Hingga sebuah kata pun terucap, “Aku juga mencintaimu,” ujar Oetari.
Cinta kedua hati ini tumbuh berkembang tanpa halangan berarti. Di tahun 1921, Pak Cokro menikahkan mereka berdua. Tidak ada data yang memadai untuk menyimpulkan apakah kala itu Soekarno sudah menyelesaikan HBS atau belum. Di wikipedia tertulis, bulan Juli 1921, Soekarno menyelesaiakan HBS dan melanjutkan kuliah di jurusan Teknik Sipil Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB) di Bandung.
Sumber Foto: ekasarihandayani.blogspot.com
Post a Comment
Post a Comment