HOS Cokroaminoto

Pemimpin itu dilahirkan, bukan dibentuk. Mereka yang dikemudian hari dikenal sebagai pemimpin, sedari kecil memang memiliki bakat kepemimpinan itu pada diri mereka. Bakat itu kemudian menemukan tempat tumbuh yang sesuai dan seringkali ada peristiwa tak terduga (kebetulan) yang membuatnya dikenal masyarakat luas sebagai pemimpin. Demikian pulalah yang terjadi pada Pak Cokro.

Di dalam diri Pak Cokro mengalir darah ningrat. Kakeknya adalah R.M. Adipati Tjokronegoro bupati Ponorogo; dan ayahnya adalah R.M. Tjokroamiseno seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda. Pak Cokro juga merupakan keturunan seorang ulama legendaris, Kiai Bagoes Hasan Besari. Nama lengkapnya Pak Cokro adalah Raden Mas Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, tetapi ia lebih senang menanggalkan gelar raden-nya.

Pada umur 20 tahun, ia telah menyelesaikan pendidikan OSVIA (Opleiding School Voor Inlandse Ambtenaren), sekolah calon pegawai pemerintah di Magelang. Atas dasar pendidikannya itu, ia diangkat menjadi juru tulis pangrehpraja di Ngawi, Jawa Timur pada tahun 1902. Tetapi jiwanya selalu gelisah saat ia mendapati adat kebiasaan sembah dan jongkok kepada atasan di lingkungan pemerintahan.

Kesempatan itu datang tiga tahun kemudian, tepatnya tahun 1905. Pak Cokro meninggalkan kenyamanan hidupnya sebagai pegawai pemerintah, pindah ke Surabaya, dan bekerja di Firma Kooy & Co. Malam harinya, ia sekolah malam setingkat HBS (Hogere Burgerschool). Tahun 1905 adalah tahun kelahiran Siti Oetari (anak pertama). Jadi saya rasa, kepindahan ke Surabaya ini gaji Pak Cokro lebih besar daripada di Ngawi. Kehidupam keluarga Cokro tambah membaik, setelah ia diterima sebagai teknisi di pabrik gula Rogojampi selama tahun 1907 hingga 1912; mula-mula menjadi masinis kemudian diangkat sebagai ahli kimia.

Semasa sekolah Pak Cokro aktif berorganisasi, termasuk menjadi penggerak forum-forum diskusi. Ia juga sempat menjadi aktivis Boedi Oetomo (BO) di Surabaya. Selain bahasa Jawa dan Melayu Pak Cokro juga menguasai bahwa Belanda dan Inggris. Kelebihan yang mencolok dalam diri Tjokroaminoto adalah bakat berpidatonya yang luar biasa. D.A Rinkes Sahabatnya melukiskan dirinya sebagai juru pidato yang hebat dengan suara baritonnya yang lantang terdengar sampai jauh dan pidatonya dapat diikuti orang banyak.

Di tahun 1912, terjadilah beberapa peristiwa serba kebetulan yang membuat nama Pak Cokro mulai dikenal publik.

Haji Samanhudi, yang mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) di tahun 1905 menghadapi masalah yang cukup pelik di tahun 1912 itu. SDI terancam dibekukan pemerintah setempat. Sejumlah aksi kerusuhan dengan para pedagang peranakan Tionghoa dan kaum misionaris membuat SDI disanksi Residen Surakarta. Aktivitas SDI dihentikan, dilarang mengadakan pertemuan, dan tak boleh menerima anggota baru.

Di Surabaya, seorang haji kaya raya, Hasan Ali Soerati meresmikan perkumpulan Setia Oesaha pada tanggal 7 Juli 1912. Perkumpulan yang bergerak dalam bidang ekonomi dan penerbitan itu memiliki modal awal sebesar f 8000, modal tersebut digunakan untuk membeli sebuah Drukkerij (alat percetakan) yang didatangkan langsung dari Semarang.

Di tempat Hasan Ali Soerati inilah Pak Cokro bertemu dengan orang-orang SDI yang sengaja datang ke Surabaya hendak membangun kerjasama dengan Setia Oesaha. Singkat cerita Pak Cokro akhirnya membawa seorang Advokat Belanda bernama Mr. Dommering ke Surakarta membantu Haji Samanhudi mengubah Sarekat Dagang Islam (SDI) menjadi Sarekat Islam (SI).

Menurut Tjokroaminoto, kata “dagang” sangat membatasi ruang gerak. Dengan nama Sarekat Islam, organisasi bisa meluaskan wilayah dan cakupannya, tidak hanya di sektor ekonomi, tetapi juga sosial, politik dan agama. Haji Samanhudi sangat setuju dengan hal ini; Mr. Dommering membuat surat izin pendirian Sarekat Islam yang tercatat pada tanggal 11 November 1912 no.132/S. Di akhir Nopember 1912, mereka sudah mengantongi izin pendirian Sarekat Islam.

Sejak itu, Tjokroaminoto menjadi tangan kanan Haji Samanhudi. Di bulan yang sama, perkumpulan Setia Oesaha di Surabaya membentuk sebuah surat kabar Oetoesan Hindia. Lahirnya Oetoesan Hindia dan SI Surabaya, membuat Tjokroaminoto di angkat menjadi Hoofdredacteur surat kabar Oetoesan Hindia, sekaligus ketua SI Surabaya. Sisa masa kerja Tjokroaminoto yang masih terikat kontrak dengan pabrik gula tempatnya bekerja pun ditebus oleh Sarekat Islam.

Dari situ, karier Tjokroaminoto melesat pesat. Berkat jaringan Pak Cokro, SI berkembang cepat dengan mendirikan cabang di banyak daerah di Jawa, dari wilayah timur sampai barat, bahkan hingga ke Batavia.

Ilustrasi: HOS Cokroaminoto (tirto.id)