Apa yang terjadi di jaman penjajahan Belanda, bukan hanya dar-der-dor peperangan dan penderitaan akibat tanam paksa. Apalagi setelah Ratu Wilhelmina menyerukan politik etis (politik balas budi) di semua daerah jajahan Belanda tahun 1901. Ini mengawali era baru dimana di berbagai wilayah Indonesia dibangun irigasi yang memadai untuk menyuburkan lahan pertanian dan para putra priyayi pribumi dapat menikmati pendidikan tinggi dan menjadi pegawai pemerintahan Belanda.

Jauh sebelum didengungkannya politik etis itu, pemerintah Hindia Belanda sudah membangun jalan raya, jaringan kereta api dan sekolah. Sudah tentu tujuannya tak jauh dari kepentingan pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Jalan Raya Pos (bahasa Belanda: De Grote Postweg), yakni jalan yang panjangnya kurang lebih 1000 km yang terbentang sepanjang utara Pulau Jawa, dari Anyer sampai Panarukan, dibangun pada masa pemerintahan Gubernur-Jenderal Herman Willem Daendels (1808 – 1811). Jalan kereta api di Indonesia mulai dibangun tahun 1867 menghubungkan Semarang-Tanggung yang berjarak 26 km. Jalan ini kemudian diperpanjang sampai ke Surakarta tahun 1870 (110 Km). Sampai dengan tahun 1900, telah dibangun jalan kereta di Indonesia sepanjang 3.338 km.

Penyakit tropis yang jadi masalah di Hindia Belanda membikin pemerintah kolonial pusing. Jika jadi wabah bagi penduduk pribumi, tentu bisa menganggu produksi perkebunan. Perkebunan adalah sektor penting semasa Tanam Paksa (1830-1870) dan setelahnya. Ini adalah keran duit Negeri Belanda, dan wabah penyakit bisa menyetop alirannya.

Pemerintah kolonial kemudian mengeluarkan Keputusan No. 22 pada 2 Januari 1849, yang menetapkan Rumah Sakit Militer—saat ini Rumah Sakit Gatot Subroto—sebagai lokasi kursus juru kesehatan (mantri). Selanjutnya, pada 5 Juni 1853, kursus mantri itu menjadi sekolah untuk melatih para mantri cacar. Lulusannya digelari Dokter Jawa.

Lama pendidikan Dokter Jawa adalah tiga tahun. Pada 1898, lama pendidikannya menjadi sembilan tahun dan sekolah ini mulai memakai nama STOVIA (School tot Opleiding voor Indische Artsen). Letak sekolahnya di Kwitang, tak jauh dari Pasar Senen dan Kwini. Gedung itu sekarang menjadi Museum Kebangkitan Nasional.

Pemerintah Hindia Belanda juga sudah mulai mengizinkan anak pribumi masuk HBS sejak tahun 1874. Hanya saja, setelah 1901 itulah para pribumi mulai ada kebebasan untuk membentuk organisasi yang bergerak dalam bidang sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Budi Utomo didirikan tahun 1908 oleh Dr.Soetomo dan para mahasiswa STOVIA. Organisasi ini bersifat sosial, ekonomi, dan kebudayaan tetapi tidak bersifat politik. Sebelumnya, di tahun 1905, Haji Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam. Sesuai dengan namanya, organisasi ini didirikan untuk memperjuangkan para pedagang islam.

Pada tahun 1912, Sarekat Dagang Islam (SDI) diubah namanya menjadi Sarekat Islam (SI) dan tidak melulu mengurusi pedagang, melainkan semua umat islam dan urusannya tidak hanya ekonomi, tetapi juga sosial, politik dan agama. Yang terpilih sebagai ketua SI pertama adalah HOS Cokroaminoto.

Sebagai ketua SI, sudah barang tentu rumah Pak Cokro selalu ramai dikunjungi oleh beragam tamu: teman-teman seperjuangan Pak Cokro dan juga para pejabat pemerintah Belanda. Saking besarnya pengaruh Pak Cokro masa itu, pihak kolonial Belanda menjulukinya “De Ongekroonde van Java” (Raja Jawa Tanpa Mahkota).

***

Dalam suasana yang demikian itulah Soekarno muda tumbuh, bersama dengan kawan-kawan sebayanya, mereguk manisnya air telaga Akademi Cokroaminoto, sambil bergaul dengan noni-noni Belanda yang sama-sama sekolah di HBS.

Pada umur 14 tahun, Soekarno bahkan telah berani mencium Rika Meelhuysen, teman sekelasnya. Dan sampai dengan umur 18 tahun, ada sederat nama noni-noni Belanda mengisi hati Soekarno selain Rika Meelhuysen, yakni: Pauline Gobee, Laura, dan Mien Hessels. Foto yang dilampirkan di artikel ini memperlihatkan Soekarno muda bersepeda bersama Mien Hessels, noni Belanda yang sangat Soekarno cintai (dari Film Soekarno 2013). Saking cintanya terhadap Mien, Soekarno bahkan rela untuk mati, demikian tercatat dalam buku otobiografinya.

Kisah cinta Soekarno-Mien Hessels kandas setelah Soekarno ditolak mentah-mentah oleh ayah Mien Hessels dengan perkataan yang buruk dan sangat menghina. Saya rasa, ini adalah sebuah milestone penting dari sejarah Soekarno. Sikap anti Belanda yang diperlihatkan oleh R. Soekemi ayahnya dan Pak Cokro gurunya, belum menumbuhkan kesadaran kepada Soekarno muda yang saat itu terbuai dengan kecantikan noni-noni Belanda dan pendidikan modern ala Belanda.

“Kamu? Inlander kotor seperti kamu?” kata tuan Hessels sambil meludah, “Berani-beraninya kamu mendekati anakku. Keluar, kamu binatang kotor. Keluar!”. Kata-kata kasar Ayah Mien Hessels itu membuat Soekarno sangat terpukul. “Perihnya terasa sedemikian hebat, sehingga saat itu aku berpikir: Ya Tuhan, aku tak akan dapat melupakan ini.”

Kepedihan ini menumbuhkan semangat perlawanan hebat dalam diri Soekarno muda. Ia semakin giat belajar dan berlatih di bawah bimbingan Pak Cokro. Kata-kata Pak Cokro “Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator” mengurat mengakar dalam diri Soekarno muda. Tidaklah mengherankan, jika dikemudian hari Soekarno memiliki retorika pidato yang memukau seluruh penduduk negeri ini, dan tulisan-tulisannya tak lekang oleh waktu.

Seiring dengan waktu, lupalah ia dengan Mien Hessels. Apalagi, di rumah indekosnya ada anak mungil cantik yang mulai tumbuh menjadi gadis yang menawan. Ialah Siti Oetari, yang dikemudian hari tercatat sebagai istri pertama Soekarno.