Umat kristiani memiliki phobia sejarah JAMAN KEGELAPAN, dimana agama dijadikan alat untuk menindas rakyat. Akan tetapi jawaban dari itu adalah lahirnya LIBERALISME yang meminggirkan agama dari ranah publik ke ranah privat. Pada akhirnya yang terjadi adalah DEGRADASI MORAL, karena pada akhirnya masyarakat memeluk dua agama: di ranah privat mereka memeluk agama Nasrani, di ranah publik mereka memeluk “agama baru” yang melegalkan (atau tidak peduli akan tumbuhnya) perjudian, pelacuran, narkotika, dan LGBT. Agama baru inilah yang kemudian kita kenal sebagai “Agama Neolib”, yang bertuhankan uang dan bersyariatkan pasar.
Jika Margaret Thatcher mengatakan “there is no alternative” (tidak ada alternatif lain), kecuali mengikuti gelombang NeoLiberalisme, kita katakan Margaret Thatcher salah besar. “Wrong mum, we have Pancasila” (Anda salah ibu, kami punya Pancasila). Kita memiliki alternatif itu, yakni Pancasila. Akan tetapi, bukan Pancasila yang saat ini telah dikebiri, melainkan Pancasila yang telah dimurnikan dan disucikan dengan air suci amerta yang dibawa oleh Sang Garuda.
Dalam Mitos Garuda yang dipahat sebagai relief di Candi Kidal diceritakan, Garuda berhasil membawa air amerta dan membebaskan Ibu Pertiwi dari cengkeraman para naga. Hal itu didahului dengan kerelaan Sang Garuda menjadi kendaraan Wisnu. Dengan lain perkataan, kita harus menyatukan diri dengan Tuhan, kita harus selalu menghadirkan Tuhan dalam setiap langkah perjuangan membebaskan Ibu Pertiwi dari segenap belenggu kaum penjajah. Hanya dengan itulah Daud yang lemah berhasil merobohkan Jalut yang perkasa.
Dalam era Pancasila, PERASAN TERBAIK dari nilai-nilai semua agama kita jadikan pedoman dalam penyusunan hukum dan perundang-undangan, sementara kita juga harus mewaspadai RADIKALISME dan TIRANI yang dilakukan atas dasar agama. Perjudian, pelacuran, narkotika, dan LGBT harus dilarang keras, karena selain bersifat candu, hal itu secara nyata menurunkan tingkat produktivitas masyarakat.
Dengan Pancasila, kita perjuangkan berdirinya negara moral dan hukum:
(1) Negara Indonesia adalah negara moral dan hukum.
(2) Setiap warga negara berkewajiban menjunjung tinggi nilai-nilai akhlak, etika, dan moral dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan dan berkewajiban menjunjung hukum dengan tidak ada kecualinya.
(3) Setiap warga negara berkewajiban untuk memberikan penghormatan yang layak kepada orang lain sesuai dengan dharma bhaktinya kepada Tuhan, bangsa dan negara dengan urutan sebagai berikut: brahmana, ksatria, waisya, dan sudra.
(4) Setiap warga negara berkewajiban untuk mendahulukan penyelesaian masalah dengan menggunakan nilai-nilai luhur bangsa, dibandingkan dengan penyelesaian secara hukum.
Alih-alih menggunakan ekonomi liberal, kita menggunakan Ekonomi Pancasila.
Konsep dasar ekonomi liberal adalah adanya kebebasan individu untuk bersaing secara bebas-sempurna di pasar dalam kegiatan produksi, menjual, dan menyalurkan barang dan jasa; kebebasan atas kepemilikan pribadi; dan harga pasar ditentukan oleh keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Dalam sistem ini pemerintah berfungsi minimal, yakni liberalisasi perdagangan dan keuangan, memastikan mekanisme pasar tidak terganggu, mengurangi inflasi (melakukan stabilisasi makro-ekonomi), dan privatisasi.
Karena apa saja boleh, pengusaha majikan mulai mengerjakan sesama manusia dengan gaji dan lingkungan kerja yang di luar prikemanusiaan. Puncaknya terjadi dalam era revolusi industri, yang antara lain mengakibatkan bahwa anak-anak dan wanita hamil dipekerjakan di tambang-tambang. Wanita melahirkan dalam tambang di bawah permukaan bumi. Mereka juga dicambuki bagaikan binatang. Dalam era itu seluruh dunia juga mengenal perbudakan, karena pemerintah tidak boleh campur tangan melindungi buruh.
Sekalipun gagasan Ekonomi Pancasila baru gelondongan gagasan dan belum dapat diimplementasikan secara luas, kita yakin seyakin-yakinnya, Ekonomi Pancasila jauh lebih beradab. Apa yang kita perjuangkan adalah aturan dasar dimana “Negara mewujudkan sistem perekonomian yang berdikari dan berkeadilan sosial atas dasar Pancasila”. Ekonomi berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) adalah ekonomi yang mengedepankan penggunaan sumberdaya negara sendiri. Pengertian berdikari senada dengan ajaran swadesi yang dicetuskan oleh Mahatma Gandhi.
Kita berpendapat bahwa persaingan bebas bukanlah satu-satunya pendorong manusia untuk maju. Sikap kekeluargaan dan gotong rotong memiliki daya pengaruh yang sama. Daya dorong yang lebih besar lagi adalah karena kita percaya Tuhan. Sebagai ganti semangat persaingan bebas, kita mengedepankan sikap kekeluargaan dan kegotong-royongan serta keimanan dan ketakwaan bangsa yang sudah mengurat mengakar dalam kehidupan bangsa.
Hadirnya Pancasila di bumi pertiwi sangat patut untuk disyukuri. Pancasila adalah warisan paling berharga dari para pendahulu kita. Hanya saja untuk mempertahankan Pancasila dan nilai-nilainya, kita harus membersihkannya dengan air suci amerta. Setelah itu kita membuat Konstitusi Baru yang diturunkan dari Pancasila yang telah tersucikan.
Pembuatan konstitusi baru itu sekaligus membayar hutang sejarah Bung Karno:
“Kalau boleh saya memakai perkataan: ini adalah Undang-Undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna”
Post a Comment
Post a Comment