Resensi Buku: Konstitusi dan Konstitusionalisme

Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., dalam buku ini membahas sejarah awal konstitusi di Indonesia, demokrasi dan nomokrasi, prinsip kekuasaan, dan bagaimana penerapan ideal sebuah konstitusi. Dalam pengantarnya, buku ini merupakan refleksi dari perjalanan dan keterlibatan penulis dalam dunia ilmu hukum. Keterlibatan penulis sebagai akademisi, politisi (ketika penulis menjadi anggota legislatif), dan sebagai Hakim Konstitusi dituangkan dalam bentuk teori-teori dan ulasan ilmu hukum.

Buku ini berisi banyak ulasan mengenai konstitusi di Indonesia. Walaupun di awal, penulis memaparkan mengenai gagasan konstitusi secara umum. Pembaca dibawa pada penjelasan secara historis perkembangan konstitusi. Dalam memaparkan pandangan konstitusi saat masa Yunani kuno dan Romawi Kuno, penulis juga memberikan pandangan pembanding tentang Piagam Madinah. Hal ini merupakan karakteristik penulis dalam memaparkan pandangan konstitusi dielaborasikan dengan parspektif penulis mengenai syariat Islam dalam konteks kenegaraan. Pandangan ini akan kita temui pada pembahasan-pembahasan dalam beberapa bab.

Bab 1, penulis membahas Konstitusi dan Konstitusionalisme. Secara substantif, menguraikan pengertian, sejarah, dan kaitannya dengan Piagam Madinah, serta karakter konstitusi dan konstitusionalisme modern. Kerangka teoritik yang dipergunakan dalam menganalisis konstitusionalisme menggunakan pemikiran William G. Andrews, yang menyatakan untuk menjamin tegaknya konstitusionalisme pada umumnya bersandar pada tiga unsur kesepakatan, yaitu: (i) kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama tentang pemerintahan (the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government); (ii) kesepakatan tentang negara hukum sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggara negara (the rule of law or the basis of government); (iii) kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures). Dalam buku Hukum Perbandingan  Konstitusi (Jazim Hamidi & Malik) juga menggunakan teori yang sama menganalis teori konstitusionalisme.

Disebutkan bahwa kontekstualisasi pemikiran Andrews menyangkut tujuan atau cita-cita bersama merupakan falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag atau common platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara. Dasar filsosofis-sosiologis di Indonesia adalah Pancasila serta perwujudan empat tujuan atau cita-cita ideal bernegara yang disebutkan dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945. Ketiga kesepakatan tersebut melengkapi inti yang menyangkut prinsip pengaturan dan pembatasan kekuasaan. Pada pokoknya, prinsip konstitusionalisme modern sebenarnya memang menyangkut prinsip pembatasan kekuasaan atau yang lazim disebut sebagai prinsip ‘limited government’.

Pada Bab 2, penulis secara khusus membahas konstitusi Indonesia dari masa ke masa. Pembahasan mengenai konstitusi yang ada di Indonesia diulas secara komprehensif. Pembahasan dilakukan dari kajian historis perkembangan perubahan konstitusi Indonesia (UUD) sampai amandemen terakhir.

Berkenaan dengan prosedur perubahan Undang-Undang Dasar, Penulis memaparkan adanya tiga tradisi yang berbeda antara satu negara dengan negara lain. Pertama, kelompok negara yang mempunyai kebiasaan mengubah materi Undang-Undang Dasar dengan langsung memasukkan (insert) materi perubahan itu ke dalam naskah Undang-Undang Dasar. Dalam kelompok ini dapat disebut, misalnya, Republik Perancis, Jerman, Belanda, dan sebagainya. Kedua, kelompok negara-negara yang mempunyai kebiasaan mengadakan penggantian naskah Undang-Undang Dasar. Di lingkungan negara-negara ini, naskah konstitusi sama sekali diganti dengan naskah yang baru, seperti pengalaman Indonesia dengan Konstitusi RIS tahun 1949 dan UUDS Tahun 1950.

Ketiga, yaitu perubahan konstitusi melalui naskah yang terpisah dari teks aslinya, yang disebut sebagai amandemen. Dengan tradisi demikian, naskah asli Undang-Undang Dasar tetap utuh, tetapi kebutuhan akan perubahan hukum dasar dapat dipenuhi melalui naskah tersendiri yang dijadikan adendum tambahan terhadap naskah asli tersebut. Dapat dikatakan, tradisi perubahan demikian memang dipelopori oleh Amerika Serikat. Perubahan UUD 1945 yang telah berlangsung empat kali berturut-turut sampai sekarang, sesungguhnya, tidak lain juga mengikuti mekanisme perubahan gaya Amerika Serikat itu.

Bab 3, penulis membahas mengenai prinsip dasar penyelenggaraan negara. Pembahasan dilatarbelakangi substansi pembukaan UUD yang memuat pokok-pokok pikiran, cita-cita luhur, dan filosofis bangsa Indonesia. Adapaun dalam penyelenggaraan Negara Indonesia dilaksanakan berdasarkan Pancasila.

Penulis mengemukakan adanya sembilan prinsip pokok yang mendasari penyusunan sistem penyelenggaraan Negara Indonesia dalam rumusan Undang-Undang di masa depan. Kesembilan prinsip itu adalah: (i) Ketuhanan Yang Maha Esa, (ii) Cita Negara Hukum atau Nomokrasi, (iii) Paham Kedaulatan Rakyat atau Demokrasi, (iv) Demokrasi Langsung dan Demokrasi perwakilan, (v) Pemisahan Kekuasaan dan Prinsip ‘Checks and Balances’, (vi) Sistem Pemerintahan Presidensiil, (vii) Prinsip Persatuan dan Keragaman dalam Negara Kesatuan, (viii) Demokrasi Ekonomi dan Ekonomi Pasar Sosial, dan (ix) Cita Masyarakat Madani.

Kesembilan prinsip pokok itu ditemukan dan ditelaah secara mendalam dari berbagai pergumulan pemikiran yang berkembang di kalangan para ahli dan di kalangan para perumus dan perancang naskah Undang-Undang Dasar maupun naskah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 sejak tahun 1945 sampai sekarang.

Namun ada hal ‘kecil’ yang agak mengganggu yakni kesalahan penulisan jumlah prinsip penyelenggaraan negara yang dilakukan berulang sebanyak 2 kali. Jumlah prinsip tersebut ditulis sebanyak sepuluh prinsip. Padahal jumlah prinsip yang dipaparkan hanya sembilan.

Bab 4, menurut saya, penulis dengan karakter khasnya dalam melakukan analisa Perumusan Prinsip Ketuhanan menjelaskan antara pemikiran Islam dan pemikiran Barat dalam runtutan penjabaran secara historis. Menurut penulis, bangsa Indonesia berbeda dari paham teokrasi yang mewujudkan ide Kedaulatan Tuhan itu ke dalam paham Kedaulatan Raja. Bangsa Indonesia mewujudkan paham Kedaulatan Tuhan itu dalam dan melalui konsep Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum.

Pandangan demikian kiranya lebih sesuai dengan prinsip ‘tauhid’ menurut ajaran agama Islam yang dianut oleh sebagian terbesar rakyat Indonesia, dan sejalan pula dengan prinsip ke-Tuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila.

Adapun dalam perubahan dari perumusan Piagam Jakarta penulis mengutip pendapat Umar Basalim mengenai mengenai kedudukan “syari’at Islam” yang dikaitkan dengan pencoretan ketujuh perkataan dari naskah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa pencoretan itu terjadi karena pertimbangan untuk memelihara persatuan di antara sesama warga bangsa yang menganut berbeda-beda agama. Penulis berpendapat, kelemahan pandangan ini yang bersifat pragmatis cenderung menyederhanakan persoalan. Pandangan pragmatis ini tidak menyelesaikan konflik (conflict resolution), melainkan hanya sekedar menghindari konflik atau malah menghindar dari upaya untuk menyelesaikan perbedaan dan persengketaan (conflict avoidance).

Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa pemberlakuan syari’at Islam di kalangan masyarakat yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam merupakan kewajiban yang mutlak sifatnya. Menurut penulis, pemberlakuan syari’at Islam itu tidak perlu mengkhawatirkan para pemeluk agama selain Islam, karena subjek hukum yang dituju oleh pemberlakuan syari’at Islam itu adalah hanya kaum Muslimin. Ketiga, kelompok yang berpendapat lebih realistis. Pandangan penulis bahwa syari’at Islam tidak perlu dan tidak boleh direduksikan maknanya sekedar menjadi persoalan internal institusi negara. Hukum negara harus mencerminkan esensi keadilan berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, memang sudah seharusnya, yaitu diwujudkan melalui prinsip yang saya namakan ‘hirarki norma’ dan ‘elaborasi norma’.

Pada bab ini penulis juga memuat ketentuan-ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia. Menurut penulis hal ini sangat penting dalam memberikan jaminan konstitusional. Hal itu bahkan dianggap merupakan salah satu ciri pokok dianutnya prinsip Negara hukum di suatu Negara. Namun di samping hak-hak asasi manusia, harus pula dipahami bahwa setiap orang memiliki kewajiban dan tanggungjawab yang juga bersifat asasi.

Bab 5 merupakan pembahasan Cita Demokrasi dan Nomokrasi. Ulasan dimulai dengan membedah konsepsi gagasan kedaulatan. Penulis memaparkan dengan membandingkan antara pemikiran Islam dan pemikiran Barat dalam runtutan penjabaran secara historis.

Pengertian kata kedaulatan dalam makna klasiknya berkaitan erat dengan gagasan mengenai kekuasaan tertinggi, baik di bidang ekonomi maupun terutama di lapangan politik. Makna kekuasaan yang bersifat tertinggi itu, terkandung pula dimensi waktu dan proses peralihannya sebagai fenomena yang bersifat alamiyah. Pandangan seperti ini terdapat pula dalam pemikiran Ibn Khaldun mengenai naik tenggelamnya kekuasaan negara-negara dalam sejarah umat manusia.

Pandangan Ibnu Khaldun inilah yang sebenarnya mempengaruhi Niccolo Maciavelli (1461-1527, yang lahir kurang lebih 6  tahun setelah Ibnu Khaldun wafat) ketika menulis karya monumentalnya l’Prince. Buku l’Prince ini, seperti Mukadimah, juga mengungkapkan teori yang sangat mirip mengenai naik-tenggelamnya negara dalam sejarah umat manusia.

Di dunia ilmu pengetahuan, tokoh yang dapat disebut sebagai pelopor pertama yang membahas ide kedaulatan ini sebagai konsep kekuasaan tertinggi di dunia ilmu pengetahuan adalah Jean Bodin (1530-1596). Setelah Jean Bodin, tokoh yang harus disebut jasanya dalam mengembangkan studi mengenai konsep kedaulatan ini adalah Thomas Hobbes. Adapun kedaulatan dalam pandangan klasik tidak dapat dipisahkan dari konsep negara. Menurut penulis, pandangan Bodin maupun Hobbes ini, betapapun juga dapat dianggap merupakan cermin dari atau mencerminkan pandangan yang sangat dipengaruhi oleh paham liberalisme yang dikembangkan karena kebutuhan untuk melawan serta membebaskan zamannya dari kungkungan kesewenang-wenangan Raja.

Kemudian dalam perkembangannya penulis mengemukakan pendapat para ahli dalam kritik atas kelemahan definisi klasik seperti Rossseau (1712-1778), Montesquieu (1681-1755), John Austin, dan Jeremy Bentham. Menurut penulis, konsep kedaulatan dewasa ini haruslah dipahami sebagai konsep kekuasaan tertinggi yang dapat saja dibagi dan dibatasi. Pembatasan kekuasaan itu, betapapun tingginya, harus dapat dilihat dalam sifatnya yang internal yang biasanya ditentukan pengaturannya dalam konstitusi yang pada masa kini biasanya dikaitkan dengan ide konstitusionalisme negara modern. Artinya, di tangan siapapun kekuasaan tertinggi atau kedaulatan itu berada, terhadapnya selalu diadakan pembatasan oleh hukum dan konstitusi sebagai produk kesepakatan bersama para pemilik kedaulatan itu sendiri.

Pada sub bab tentang Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat, penulis menggambarkan fenomena demokratisasi di hampir seluruh negara di dunia. Konsep demokrasi itu dipraktekkan di seluruh dunia secara berbeda-beda dari satu negara ke negara lain. Akan tetapi fenomena tersebut hanya sebagai paradigma dalam bahasa komunikasi dunia mengenai sistem pemerintahan dan sistem politik yang diangap ideal. Oleh karena itu, bisa saja pada suatu hari nanti, timbul kejenuhan atau bahkan ketidakpercayaan yang luas mengenai kegunaan praktis konsep demokrasi modern ini. Penulis sendiri memberikan pandangan mengenai demokrasi dan kedaulatan rakyat bahwa rakyat mempunyai otoritas tertinggi untuk menetapkan berlaku tidaknya suatu ketentuan hukum dan mempunyai otoritas tertinggi untuk menjalankan dan mengawasi pelaksanaan ketentuan hukum. Dengan perkataan lain, rakyat berdaulat, baik dalam perencanaan, penetapan, pelaksanaan, maupun evaluasi dan pengawasan terhadap pelaksanaan produk hukum yang mengatur proses pengambilan keputusan dalam dinamika penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang berkaitan dengan nasib dan masa depan mereka sendiri sebagai rakyat negara yang bersangkutan.

Pandangan penulis dalam sub bab Nomokrasi dan Konsep Negara Hukum dimulai dengan memaparkan teori konsep Negara Hukum di Eropa Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat”. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”. Pembahasan yang dilakukan sepertinya kurang komprehensif. Tidak seperti Muhammad Tahir Azhary dalam buku “Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini” yang tidak hanya memaparkan konsep negara hukum dari negara-negara Eropa kontinental dan negara-negara Anglo-Saxon tetapi juga negara-negara komunis/ sosialis dengan istilah Sosialist Legality dan nomokrasi Islam.

Namun demikian, penulis berpendapat agar dilakukan perumusan kembali prinsip pokok negara hukum yang berlaku di zaman sekarang. Prinsip-prinsip tersebut, yaitu Supremasi Hukum (Supremacy of Law), Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law), Asas Legalitas (Due Process of Law), Pembatasan Kekuasaan, Organ-Organ Eksekutif Independen, Peradilan Bebas dan Tidak Memihak,

Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Tata Negara (Constitutional Court), Perlindungan  Hak Asasi Manusia, Bersifat demokratis (Democratische Rechtsstaat), Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan  Bernegara (Welfare Rechtsstaat), serta Transparansi  dan Kontrol Sosial. Kedua belas prinsip pokok tersebut merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum (The Rule of Law, ataupun Rechtsstaat) dalam arti yang sebenarnya.

Pembahasan Organ Negara dan Pemisahan Kekuasaan terdapat dalam Bab 6. Diawal penulis mempersoalkan hakikat kekuasaan yang dilembagakan atau diorganisasikan kedalam bangunan kenegaraan. Di Indonesia, menurut penulis, konsep kedaulatan Tuhan, kedaulatan hukum, dan kedaulatan rakyat itu berlaku secara simultan dalam pemikiran bangsa kita tentang kekuasaan. Ketiga konsep kedaulatan tersebut dengan latar belakang pemikiran yang tumbuh dan berkembang sejak sebelum kemerdekaan, dan di dalamnya dengan cita kenegaraan (staatsidee) yang terkandung dalam rumusan Undang-Undang Dasar.

Dalam UUD NRI 1945 mengenal perspektif pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal itu, prinsip kesederajatan dan perimbangan kekuasaan itu tidaklah bersifat primer. Menurut penulis, prinsip pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan ini penting untuk dijernihkan karena pilihan di antara keduanya sangat mempengaruhi mekanisme kelembagaan dan hubungan antar lembaga negara secara keseluruhan. Pengaturan dan pembatasan kekuasaan tersebut menjadi ciri konstitusionalisme dan sekaligus tugas utama konstitusi, sehingga kemungkinan kesewenang-wenangan kekuasaan dapat dikendalikan dan diminimalkan.

Kemudian, penulis membahas beberapa cabang-cabang kekuasaan negara yang terdapat dalam UUD NRI 1945. Pembahasan dianalisa dari segi substansi dan yuridis diantaranya dalam cabang kekuasaan legislatif (MPR, DPR, DPRD), Badan Periksaan Keuangan, kekuasaan pemerintah negara (eksekutif), dan kekuasan kehakiman (MA, MK, KY). Penulis menggambarkan kondisi ideal lembaga-lembaga negara tersebut.

Bab 7 mengulas Bentuk Negara Kesatuan dengan Otonomi Luas. Menurut penulis masih terdapat kelemahan rumusan di atas terkait dengan pengertian ‘bentuk negara’ yang tidak dibedakan dari pengertian ‘bentuk pemerintahan’. Padahal, kedua konsep ini sangat berbeda satu sama lain. Karena yang dibicarakan adalah bentuk negara berarti bentuk organ atau organisasi negara itu sebagai keseluruhan. Jika yang dibahas bukan bentuk organnya, melainkan bentuk penyelenggaraan pemerintahan atau bentuk penyelenggaraan kekuasaan maka istilah yang lebih tepat dipakai adalah istilah ‘bentuk pemerintahan’. Istilah ini pun harus dibedakan pula dari istilah ‘sistem pemerintahan’ yang menyangkut pilihan antara sistem presidential, sistem parlementer, atau sistem campuran.

Selain itu, penulis menyoroti perkembangan dan konsep otonomi daerah di Indonesia. Dalam sejarah awal, penulis mengemukakan pandangan Bung Hatta dalam merumuskan UUD 1945. Menurutnya, bentuk negara federal lebih tepat untuk bangsa Indonesia yang dikenal sangat majemuk, bukan negara kesatuan (unitary state). Akan tetapi karena argumen-argumen kalangan pergerakan lainnya nampaknya cukup meyakinkan baginya bahwa dalam wadah Negara Kesatuan yang hendak dibangun, sudah dengan sendirinya daerah-daerah dapat dibangun atas dasar prinsip desentralisasi. Menurut penulis, semangat Negara Kesatuan dengan prinsip Otonomi Daerah yang luas inilah yang sebenarnya meyakinkan orang seperti Bung Hatta, sehingga ide ‘‘Negara Federal” dinilai menjadi tidak lagi memiliki relevansi.

Pembahasan dilanjutkan dengan perkembangan otonomi daerah setelah kemerdekaan sampai dengan periode Demokrasi Terpimpin yang digambarkan bagaimana tantangan yang dihadapi oleh gagasan otonomi daerah dan prinsip desentralisasi yang luas. Setelah terjadinya pergantian Presiden pada tahun 1967, barulah muncul kembali apresiasi mengenai pentingnya prinsip otonomi daerah dan desentralisasi pemerintahan. Hal ini terlihat dengan jelas dalam TAP MPRS tanggal 5 Juli  966, No. XXI/MPRS/ 966 tentang Pemberian Otonomi Seluas-luasnya Kepada Daerah. Akan tetapi oleh penulis digambarkan bahwa kenyataannya di lapangan, idealisme yang muncul dalam suasana peralihan kekuasaan yang menjanjikan demokrasi dan otonomi daerah itu tidak segera dapat dilaksanakan. Setelah memasuki masa reformasi pada tahun 1998 yang juga ditandai dengan terjadinya pergantian kekuasaan dari Presiden Soeharto ke Presiden B.J. Habibie, aspirasi mengenai otonomi daerah dan desentralisasi muncul kembali dengan penuh janji dan optimisme.

Dalam perkembangan otonomi daerah tersebut, penulis mengajak pembaca untuk melihat dalam pelaksanaan otonomi daerah. Sebab di lapangan banyak sekali kasus-kasus dan dampak samping yang terjadi dan menurunkan apresiasi masyarakat luas akan kebijakan otonomi daerah itu sendiri. Tinggal yang menjadi persoalan adalah bagaimana agar kebijakan otonomi daerah tetap dapat diwujudkan, tetapi ekses-ekses dan kecenderungan timbulnya gejala eforia dan sikap kebablasan juga dapat ditanggulangi secara rasional. Dengan demikian, otonomi daerah dilihat sebagai solusi, bukan problem ataupun ancaman yang menakutkan.

Pada Bab 8 mengenai Perangkat Peraturan Perundang-Undangan sepertinya penulis harus segera melakukan revisi. Sebab, pada bab ini penulis masih menggunakan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam mementukan hierarki perundang-undangan. Padahal, sudah ada perubahan hierarki perundang-undangan dengan adanya UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pada bab ini adanya perubahan perundang-undangan merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Wajah hukum pada beberapa tahun yang lalu tentu bisa saja telah berbeda ketika tahun juga bergeser. Ada peraturan perundang-undangan yang baru, ada aturan baru, bahkan ada komposisi kenegaraan serta pola bernegara yang baru.

Selain itu, dalam bab ini penulis menempatkan peraturan dalam arti sempit dan luas yang digunakan secara silih berganti. Pengertian tentang sumber tertib hukum memuat pengertianyang lebih luas, yaitu tidak hanya mencakup aneka putusan legislatif dan eksekutif yang dapat dijadikan sumber hukum, tetapi mencakup pula putusan-putusan pengadilan dalam lingkungan kekuasaan judikatif. Sedangkan bentuk-bentuk dan tata-urut peraturan hanya mencakup putusan-putusan cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif yang isinya dapat bersifat mengatur (regeling), dan karena itu disebut dengan peraturan. Akan tetapi, pengertian peraturan dalam arti luas dapat pula mencakup putusan-putusan yang bersifat administratif yang meskipun tidak bersifat mengatur tetapi dapat dijadikan dasar bagi upaya mengatur kebijakan yang lebih teknis.

Bab 9 sekaligus epilog, penulis ingin menyampaikan ide aganda strategis pembangunan sistem hukum nasional. Kemunduran penegakan hukum dengan maraknya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) menyebabkan citra hukum yang tidak memberikan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Tidak sedikit yang memandang hukum bak penyakit yang kronis dengan berbagai komplikasi. Sistem hukum nasional harus segera berbenah diri untuk keluar dari persoalan yang sudah menggurita. Penanganan melalui cetak biru dan desain makro penjabaran ide negara hukum harus dirumuskan secara sistemis dan komprehensif. Hal ini dipandang perlu dilakukan untuk menciptakan bangsa Indonesia yang diidealkan dan dicita-citakan oleh the founding fathers sebagai suatu Negara Hukum. Hal ini juga secara tegas termaktub dalam Perubahan Keempat UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.

Oleh karena itu, penulis memandang perlu melakukan agenda strategis melalui penataan sistem hukum, penataan kelembagaan hukum, pembentukan dan pembaharuan hukum, penegakan hukum dan hak asasi manusia, pemasyarakatan dan pembudayaan hukum, peningkatan kapasitas profesional hukum, dan infrastruktur sistem kode etika positif.

Secara keseluruhan, buku ini adalah sebuah pengantar yang komprehensif memahami konstitusi dan konstitusionalisme secara khusus dalam konteks ke-Indonesia-an. Satu nilai lebih buku ini, meskipun ditulis dalam topik-topik yang khusus di setiap babnya, tetapi benang merah diantara topik dimaksud sangat jelas terbaca, sehingga buku ini mudah untuk dipahami.

DETAIL BUKU

Judul buku  : Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia
Penulis     : Jimly Asshiddiqie
Penerbit    : Sinar Grafika
Cetakan     : November 2011
Halaman     : xvi + 340 halaman

Oleh Harry Fambudi
Sumber: harryfambudi.blogspot.co.id