NeoLiberalisme merupakan perkembangan lebih lanjut dari liberalisme dimana para pemeluknya meyakini bahwa bukan hanya produksi, distribusi, dan konsumsi yang tunduk pada hukum pasar, tapi seluruh aspek kehidupan: : ekonomi, politik, hukum, budaya, pendidikan, dll.
Apa yang tadinya melulu masalah politik dan ekonomi, pada akhirnya bermetamorfosa menjadi filsafat, bahkan agama dengan Tuhan bernama Uang, seluruh tatanan kehidupan diatur dengan pasar, dan pemeluk-pemeluknya direduksi menjadi makhluk ekonomi (homo economicus).
Jika kaum liberalisme menempatkan pemerintah pada posisi marginal, kaum NeoLiberalisme melihat bahwa pemerintah memiliki fungsi penting dalam menggebuk lawan-lawan agama mereka yang mencoba mengusik tatanan yang ada.
Dalam alam NeoLiberalisme, pemeluk-pemeluk “agama lain” dibebaskan untuk melakukan ibadah, bahkan mereka mensupport penuh pembangunan masjid, gereja, dan biara. Mereka yang terdepan dalam merayakan hari raya dan natal; hal ini bisa dilihat dari betapa semaraknya mal-mal dengan nuansa agamis menjelang kedua hari besar itu. Pada saat yang sama, mereka menyeru dengan lantang agar agama dipinggirkan ke ranah privat. Berbagai kebijakan “agama lain” di ranah publik dilarang, digantikan dengan kebijakan yang berorientasi pasar.
Konsumerisme adalah gejala umum di kalangan masyarakat sekarang ini. Orang membeli barang yang tak sungguh ia butuhkan, melainkan karena sekedar ikut trend, atau untuk memperoleh pengakuan sosial yang sifatnya sementara dan rapuh. Kepercayaan dirinya pun diukur dari sejauh mana ia mampu membeli barang-barang yang ada. Aku membeli, maka aku ada, begitulah semboyan mereka.
Perilaku ini tidaklah alami, melainkan hasil rekayasa dan propaganda kaum neolib untuk mengontrol perilaku masyarakat. Sejatinya, manusia hanya membeli dan menggunakan barang-barang yang ia butuhkan untuk hidup. Namun, definisi “kebutuhan” kini telah diperluas sedemikian rupa, sehingga ia menjadi kebutuhan-kebutuhan palsu (falsche Bedürfnisse), seperti prestise dan pengakuan sosial.
Sihir kaum neolib diproduksi oleh korporasi media berita, industri humas, ideolog-ideolog akademisi, dan budaya intelektual. Mereka membuat narasi sandiwara besar untuk menyajikan “ilusi yang dibutuhkan” alias mitos-mitos modern yang dibutuhkan oleh kaum kapitalis dalam mengukuhkan cengkeramannya dan menjadikan masyarakat sebagai target konsumen.
Tuhan kaum neolib menyihir para pemeluknya menjadi makhluk ekonomi (homo economicus). Cara hidup homo economicus mirip sekali dengan cara hidup lele, yang sepanjang hidupnya berada dalam kekawatiran memperebutkan makanan dan harus waspada dikanibal sejawatnya. Itulah sebabnya pemerintahan neolib, secara terbuka atau sembunyi-sembunyi, mendukung adanya perjudian, narkoba, pelacuran, dan lgbt. Keempat elemen surgawi neolib ini membuat kehidupan homo economicus tidak melulu didera oleh stress.
Singkat kata, NeoLiberalisme adalah agama yang dipeluk oleh para homo economicus; bertuhankan uang, bersyariatkan pasar. Dzikirnya wani piro (berani berapa), doa sapu jagatnya yotro (duit), wisata rohaninya belanja ke singapura. Visi terbesar mereka membumikan gambaran surga neolib, yaitu mewujudkan suatu pemerintahan dimana uang dipuja-pula sebagai tuhan; sementara itu perjudian, narkoba, pelacuran, dan lgbt dilegalkan.
B. MARGARET THATCHER DAN RONALD REAGAN
Kedigdayaan NeoLiberalisme sempat mengalami kegoncangan ketika perekonomian dunia terjerembab ke dalam depresi besar di tahun 1930. Kepercayaan terhadap sistem ekonomi pasar liberal merosot drastis. Anggapan publik kala itu, pasar bukan hanya tidak mampu mengurus dirinya sendiri, namun juga menjadi sumber malapetaka bagi kemanusiaan. Depresi terjadi di mana-mana karena banyak yang bangkrut dan menganggur.
Muncullah kemudian konsep negara sejahtera (welfare state). Konsep yang digagas oleh John Maynard Keynes sebenarnya tak lebih dari tambal sulam NeoLiberalisme. Ekonomi tetap dijalankan atas dasar pasar bebas, akan tetapi peran negara, yang tadinya hanya sebagai penjaga malam kemudian diberi peran tambahan untuk mengurangi efek kesenjangan ekonomi. Dalam hal ini, negara harus dilibatkan dalam kegiatan ekonomi, sosial, dan kegiatan lainnya yang mendukung terciptanya kesejahteraan bagi warga negaranya. Sekalipun demikian, peran negara juga tidak optimal, karena fungsi utamanya adalah menutup lubang besar yang ditinggalkan oleh ekonomi pasar bebas, yakni kesenjangan ekonomi.
Kedigdayaan Keynesianisme berakhir di era tahun 1979/1980, menyusul terjadinya resesi global yang menghantam negara-negara Eropa dan Amerika. Terpilihnya Ronald Reagan sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) dijadikan momentum bagi Margaret Thatcher (PM Inggris) untuk menghidupkan kembali neoliberalisme bersama Ronald Reagan. Thatcher mengeluarkan sebuah pernyataan “There Is No Alternative (TINA)“!, yang maksudnya adalah tiada pilihan lain selain dari neoliberalisme. Thatcher sendiri menegaskan bahwa sesungguhnya neoliberalisme dapat memperkuat sistem ekonomi negara, yang menyangkut perbaikan format hubungan antara negara, warga-negara, dan perekonomian.
Thatcher dan Reagan menekankan doktrin kompetisi antar bangsa, wilayah, perusahaan, dan individu. Inilah era di mana deregulasi pasar keuangan, privatisasi, pelemahan kelembagaan jaminan sosial, pelemahan serikat buruh dan perlindungan pasar tenaga kerja, pengurangan peran pemerintah, dan membuka pintu untuk arus barang dan modal internasional.
Kebangkitan kembali NeoLiberalisme ini tak lepas dari peran negara. Dengan kata lain, kekuasaan negaralah yang menjadi kata kunci untuk mengartikulasikan paham ini.
C. PANCASILA
Jika Margaret Thatcher mengatakan “there is no alternative” (tidak ada alternatif lain), kecuali mengikuti gelombang NeoLiberalisme, kita dengan lantang dapat mengatakan bahwa Margaret Thatcher salah besar. “Wrong mum, we have Pancasila” (Anda salah ibu, kami punya Pancasila).
Kita memiliki alternatif itu, yakni Pancasila. Akan tetapi, bukan Pancasila yang saat ini telah dikebiri, melainkan Pancasila yang telah dimurnikan dan disucikan dengan air suci amerta yang dibawa oleh Sang Garuda.
Dalam Mitos Garuda yang dipahat sebagai relief di Candi Kidal diceritakan, Garuda berhasil membawa air amerta dan membebaskan Ibu Pertiwi dari cengkeraman para naga. Hal itu didahului dengan kerelaan Sang Garuda menjadi kendaraan Wisnu. Dengan lain perkataan, kita harus menyatukan diri dengan Tuhan, kita harus selalu menghadirkan Tuhan dalam setiap langkah perjuangan membebaskan Ibu Pertiwi dari segenap belenggu kaum penjajah. Dengan cara yang sama Daud yang lemah berhasil merobohkan Jalut yang perkasa.
Dalam upaya memurnikan Pancasila, kita perlu membuat Konstitusi Baru NKRI. Pembuatan konstitusi baru itu sekaligus membayar hutang sejarah Bung Karno:
“Kalau boleh saya memakai perkataan: ini adalah Undang-Undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna”
Sebagai orang pinggiran yang terpanggil untuk “ndondomi klambi sing bedah ing pinggir” (menjahit kembali pakaian yang telah sobek sampai ke tepi), saya membuat situs kbnkri.wordpress.com yang berisi Draft Konstitusi Baru NKRI. Draft ini masih jauh dari sempurna, akan tetapi setidaknya bisa dijadikan bahan diskusi-diskusi publik dalam rangka membenahi Konstitusi kita menjawab tantangan Margaret Thatcher.
Liberalisme dan Neoliberalime yang mengusung kebebasan tanpa batas telah nyata-nyata melahirkan perbudakan. Puncaknya terjadi dalam era revolusi industri, yang antara lain mengakibatkan bahwa anak-anak dan wanita hamil dipekerjakan di tambang-tambang. Wanita melahirkan dalam tambang di bawah permukaan bumi. Mereka juga dicambuki bagaikan binatang. Dalam era itu seluruh dunia juga mengenal perbudakan, karena pemerintah tidak boleh campur tangan melindungi buruh.
Untuk mengakhiri perbudakan ala neolib itu, kita perlu menerapkan Ekonomi Pancasila. Sekalipun gagasan Ekonomi Pancasila baru gelondongan gagasan dan belum dapat diimplementasikan secara luas, kita yakin seyakin-yakinnya, Ekonomi Pancasila jauh lebih beradab.
Apa yang kita perjuangkan adalah aturan dasar dimana “Negara mewujudkan sistem perekonomian yang berdikari dan berkeadilan sosial atas dasar Pancasila”. Ekonomi berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) adalah ekonomi yang mengedepankan penggunaan sumberdaya negara sendiri. Pengertian berdikari ini senada dengan ajaran swadesi yang dicetuskan oleh Mahatma Gandhi.
Kita berpendapat bahwa persaingan bebas bukanlah satu-satunya pendorong manusia untuk maju. Sikap kekeluargaan dan gotong rotong memiliki daya pengaruh yang sama. Daya dorong yang lebih besar lagi adalah karena kita percaya Tuhan. Sebagai ganti semangat persaingan bebas, kita mengedepankan sikap kekeluargaan dan kegotong-royongan serta keimanan dan ketakwaan bangsa yang sudah mengurat mengakar dalam kehidupan bangsa.
Dalam Ekonomi Pancasila, pemerintah harus mengambil peran aktif, bukan hanya sebagai penjaga malam pasar, tetapi juga menjaga pasar berjalan optimal dan mencegah terjadinya kanibalisme kaum kapitalis.
Post a Comment
Post a Comment