Tulisan ini saya maksudkan untuk memperkenalkan buku saya yang baru diterbitkan oleh Penerbit Kompas yang akan segera diluncurkan dalam waktu dekat dengan judul “Konstitusi Ekonomi: Ekonomi Pasar, Demokrasi, dan Konstitusi”. Menurut saya, salah satu masalah serius yang kita hadapi dalam pembangunan ekonomi Indonesia ialah soal kerangka hukum dan konstitusi yang seharusnya dijadikan rujukan dalam pengembangan kebijakan-kebijakan di bidang perekonomian itu dalam praktik. Selama ini, persoalan ini sama sekali tidak dianggap penting, mengingat praktik penyelenggaraan ekonomi Indonesia sejak kemerdekaan telah berjalan sedemikian rupa dengan mengikuti saja arus logika pembangunan ekonomi yang berkembang atas dasar pengalaman empiris di lapangan ataupun teori-teori dan kisah-kisah sukses di negara-negara lain yang dipandang layak dijadikan contoh. Sulit membayangkan bahwa konstitusi harus dijadikan acuan substantif dalam setiap kebijakan resmi dalam proses pembangunan ekonomi. Apalagi kenyataan di zaman sekarang menuntut semua bangsa untuk akrab bergaul dengan sistem ekonomi pasar yang diidealkan bersifat bebas dan terbuka. Hubungan antar ekonomi yang satu dengan yang lain tidak dapat lagi dipahami secara eksklusif. Liberalisasi perdagangan dan globalisasi ekonomi sudah menjadi kenyataan yang tidak dapat dihindarkan.
Dalam keadaan yang demikian, memang sulit dibayangkan bahwa penyusunan kebijakan ekonomi harus tunduk kepada logika normatif yang sempit sebagaimana telah disepakati dalam rumusan undang-undang dasar yang tertulis. Sebaik-baiknya rumusan konstitusi sebagai sumber kebijakan tertinggi tidak dapat mengikuti dengan gesit dan luwes perubahan-perubahan dinamis yang terjadi di pasar ekonomi global, nasional, maupun lokal yang bergerak cepat setiap hari. Karena itu, kebiasaan untuk menjadkan konstitusi sebagai rujukan dalam penyusunan kebijakan ekonomi dapat dikatakan sangat minim. Hal itu terjadi di semua negara demokrasi. Pengaturan kebijakan ekonomi secara ketat dalam konstitusi merupakan fenomena negara-negara sosialis-komunis yang terbukti tidak berhasil memenuhi hasrat warga negara untuk bebas, baik secara politik maupun ekonomi.
Indonesia sebagai negara yang bukan komunis, juga berusaha mengadopsi beberapa prinsip yang dipraktikkan terutama di negara-negara Eropah Timur, yaitu dengan mengatur prinsip-prinsip dasar kebijakan ekonomi dalam Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Namun demikian, kalau pun disadari dan dalam praktik memang dijadikan acuan, biasanya, ketentuan-ketentuan undang-undang dasar itu hanya dijadikan rujukan formal, sekedar untuk menyebut bahwa kebiakan-kebijakan ekonomi itu, dikembangkan berdasarkan UUD 1945. Misalnya, dalam buku “Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia” (1991 dan 1994), saya telah menunjukkan bagaimana perumusan undang-undang selama periode Orde Lama dan Orde Baru cukup banyak yang menjadikan Pasal 33 dan Pasal 34 sebagai konsideran „mengingat?. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan substansi yang diatur di dalam undang-undang itu, maka materi Pasal 33 atau Pasal 34 itu sama sekali tidak tercermin di dalamnya. Karena itu, dapat dikatakan bahwa perujukan Pasal 33 dan Pasal 34 dalam berbagai undangundang yang terkait dengan perekonomian hanya bersifat formalistis atau pro-forma.
Kebijakan-kebijakan ekonomi selama Orde Lama dan Orde Baru hanya mendasarkan diri pada rekomendasi-rekomendasi ilmu ekonomi sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat universal. Tentu saja, ilmu ekonomi atau economics’ harus dibedakan dari „economic policy’. Economics sebagai ilmu pengetahuan bersifat universal, sedangkan economic policy merupakan penerapan ilmu ekonomi di suatu tempat dan suatu waktu tertentu. Perbedaan keduanya mirip dengan perbedaan antara ilmu hukum dengan hukum positif yang berlaku sekarang dan disini, dan juga antara hukum tata negara umum dengan hukum hukum tata negara positif. Kebijakan ekonomi biasa dirumuskan dari pengalaman-pengalaman empiris atau ide-ide yang diangkat dari pengalaman-pengalaman masa lalu yang sukses, baik di dalam ataupun luar negeri.
Cara berpikir demikian pertama-tama tentu tidak akan menimbulkan masalah jika konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi sama sekali tidak mengatur ketentuan yang berisi kebijakan dasar di bidang perekonomian. Kedua, kalaupun konstitusi memuat berbagai kebijakan dasar di bidang ekonomi, cara berpikir demikian juga tidak akan menimbulkan masalah jika konstitusi itu sendiri hanya bernilai nominal ataupun hanya bersifat semantik yang realisasinya di lapangan tidak perlu benar-benar diwujudkan dalam praktik. Kebiasaan demikian itulah yang banyak terjadi di negaranegara otoritarian yang tidak menyediakan mekanisme untuk menguji konstitusional tidaknya produk-produk kebijakan yang dituangkan dalam bentuk undang-undang.
Dari segi yang pertama, jelas bahwa UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi tidak hanya memuat ketentuan-ketentuan di bidang politik melainkan juga di bidang perekonomian. Pasal 33 dan Pasal 34 memuat ketentuan-ketentuan dasar di bidang perekonomian dan kesejahteraan rakyat. Bahkan untuk itu, judul Bab XIV dipertegas menjadi “Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial” dari yang sebelumnya berjudul “Kesejahteraan Sosial”. Isi Pasal 33 dan Pasal 34 itu pun dalam rangka Perubahan Keempat UUD 1945 pada tahun 2002, lebih dilengkapi dan dirinci, sehingga berisi 9 ayat, masing-masing 5 ayat pada Pasal 33 dan 4 ayat pada Pasal 34. Padahal sebelumnya Pasal 33 itu hanya terdiri atas 3 ayat, dan Pasal 34 hanya satu ayat atau pasal tanpa ayat.
Sementara itu, dari segi yang kedua, dapat dikatakan bahwa sesudah masa reformasi, terutama dengan telah dibentuknya Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi (the Guardian of the Constitution), tidak boleh lagi dibiarkan adanya kebijakan-kebijakan ekonomi yang dituangkan dalam bentuk undang-undang yang tidak sejalan atau bertentangan dengan UUD 1945. Jika di masa Orde Baru tidak tersedia mekanisme untuk menilai atau menguji konstitusionalitas suatu kebijakan ekonomi yanng dituangkan dalam bentuk undang-undang, maka setelah adanya Mahkamah Konstitusi, hal itu tidak dapat lagi dibiarkan. Warga negara atau pihakpihak yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya undang-undang yang demikian itu — termasuk undang-undang di bidang perekonomian — dapat mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas undang-undang (constitutional review) kepada Mahkamah Konstitusi.
Konstitusi adalah perjanjian, konsensus, atau kesepakatan tertinggi dalam kegiatan bernegara. Sesudah adanya kesepakatan tertinggi itu, masalah selanjutnya bukan lagi setuju dan tidak setuju ataupun bukan lagi persoalan benar dan salah apa yang diatur dalam hukum tertinggi itu. Suatu kesepakatan, benar ataupun salah, baik atapun buruk, harus dilaksanakan, karena isinya mengandung kesepakatan yang disusun atas dasar kompromi take and give’ yang dicapai dengan susah payah oleh
para wakil rakyat di Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kesepakatan boleh saja berubah setiap saat sesuai dengan perkembangan aspirasi masyarakat. Akan tetapi, sekali sudah disepakati, kesepakatan itu bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan apa adanya sesuai dengan kesepakatan. Kesepakatan adalah hukum bagi siapa saja yang mengikatkan diri di dalamnya. Demikian pula konstitusi sebagai kesepakatan tertinggi, tentulah mempunyai daya paksa yang juga bersifat tertinggi.
Oleh sebab itu, para perumus kebijakan ekonomi, dewasa ini, haruslah menjadikan UUD 1945 sebagai hukum dan kebijakan yang tertinggi di bidang perekonomian. Tidak boleh ada kebijakan ekonomi yang bertentangan dengan UUD 1945. Undang-Undang Dasar sebagai hukum tertinggi, dalam tradisi Amerika Serikat dan negara-negara liberal pada umumnya, memang hanya dipahami sebagai konstitusi politik semata. Hal itu tercermin dalam buku karya C.F. Strong yang berjudul “Modern Political Constitutions” (1952) dan “A History of Modern Political Constitutions” (1963). Dalam Konstitusi Amerika Serikat, misalnya, memang dimuat juga ketentuan-ketentuan yang berkaitan secara langsung atau pun tidak langsung dengan perekonomian, seperti soal anggaran dan pajak serta jaminan hak atas kebebasan berusaha dan kebebasan hak milik pribadi. Ketentuan-ketentuan ini secara langsung ataupun tidak langsung tentu berpengaruh terhadap dinamika kegiatan ekonomi dalam masyarakat. Akan tetapi, ketentuan khusus yang dimaksudkan untuk mengatur sistem dan kebjakan ekonomi seperti yang dipraktikkan di kalangan negaranegara sosialis dan komunis, tidak terdapat dalam konstitusi negara-negara liberal.
Kenyataan demikian itu, sebenarnya, berkaitan juga dengan cara pandang masyarakat kapitalis-liberal yang beranggapan bahwa perekonomian didasarkan atas mekanisme pasar bebas, sehingga tidak perlu diatur oleh negara, apalagi diatur dalam bentuk hukum setingkat undang-undang dasar. Dinamika kegiatan ekonomi kapitalis menggantungkan diri kepada pasar bebas (free market). Apalagi di lingkungan negara-negara „common law? seperti Inggeris dan Amerika Serikat, yang mengembangkan tradisi hukum tidak dalam bentuk peraturan tertulis, melainkan lebih mengandalkan peranan (putusan) hakim dalam menyelesaikan setiap masalah hukum yang timbul dalam praktik. Itu sebabnya, dalam tradisi ini, muncul istilah „judge- made law’ atau hukum buatan hakim. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan ekonomi tidak dipandang penting untuk dituangkan dalam bentuk peraturan tertulis, baik dalam undang-undang ataupun dalam undang-undang dasar. Perekonomian adalah urusan pasar, urusan praktik yang memiliki logika dan normanya sendiri dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan perkataan lain, substansi konstitusi negara-negara liberal kapitalis memang hanya bersifat politik. Konstitusi negara-negara liberal-kapitalis hanya dilihat sebagai dokumen politik. Yang diatur didalamnya hanya soal-soal politik semata.
Sebaliknya, dalam kaitannya dengan persoalan kebijakan ekonomi, UUD 1945 mengikuti tradisi negara-negara sosialis dengan memuat kebijakan dasar bidang perekonomian dalam bab yang tersendiri. Sesudah reformasi konstitusi, UUD 1945 lebih banyak memuat ketentuan-ketentuan mengenai hak asasi manusia dan prinsipprinsip demokrasi seperti dalam tradisi negara-negara liberal. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, UUD 1945 pasca reformasi juga memuat lebih tegas ketentuan tentang perekonomian dan kesejahteraan sosial seperti dalam tradisi negara-negara sosialis. Hal ini tercemin dalam perumusan Pasal 33 dan Pasal 34 baru dan dengan judul Bab XIV, Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial seperti yang sudah diuraikan di atas. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa UUD 1945 tidak sematamata merupaan dokumen politik, tetapi juga merupakan dokumen ekonomi. UUD 1945 bukan hanya konstitusi politik tetapi juga konstitusi ekonomi.
Sebagai konstitusi ekonomi, UUD 1945 harus dipahami sebagai kebijakan ekonomi tertinggi yang harus dijadikan acuan dan rujukan dalam mengembangkan setiap kebijakan pembangunan ekonomi nasional. Kebijakan-kebijakan perekonomian dimaksud, agar bersifat mengikat dan keberlakuannya bersifat memaksa selalu dituangkan dalam bentuk undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya. Semua peraturan-peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Undang-undang tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Jika bertentangan maka terhadap undang-undang dan peraturan-peraturan dimaksud tersebut tersedia mekanisme untuk mengujinya melalui proses peradilan „judicial review” dan jika terbukti bertentangan dapat dinyatakan tidak berlaku mengikat untuk umum, alias dibatalkan atau setidaknya diperintahkan untuk dicabut (seperti putusan judicial review oleh Mahkamah Agung). Pengujian konstitusionalitas undang-undang dilakukan di Mahkamah Konstitusi, sedangkan pengujian legalitas peraturan di bawah undang-undang dilakukan di Mahkamah Agung.
Oleh sebab itu, sangat penting artinya bagi para sarjana hukum dan sarjana ekonomi, khususnya bagi para penentu kebijakan ekonomi untuk menyadari hakikat UUD 1945 sebagai konstitusi ekonomi. Selama ini, kesadaran dan apalagi kebiasaan untuk melihat konstitusi sebagai dokumen ekonomi, dapat dikatakan masih sangat langka. Tidak banyak atau bahkan belum ada buku yang menguraikan hakikat konstitusi sebagai dokumen ekonomi dimaksud. Belum ada j uga sarj ana hukum yang merasa peru mendalami soal-soal yang demikian ini. Apalagi sarjana hukum tata negara yang biasa mengidentifikasikan diri hanya berada dalam hubungan antara hukum dan politik semata, tidak ada yang berusaha menempatkan diri dalam hubungan hukum yang lebih luas.
Paradigma berpikir para sarjana hukum pada umumnya dan para sarjana hukum tata negara pada khususnya hanya berkisar dalam soal-soal “trias politica” warisan Montesquieu, yaitu dalam perspektif hubungan antar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan judikatif. Belum ada yang memahami bahwa hukum berperan penting dalam mekanisme hubungan yang lebih luas, yaitu antara negara (state), masyarakat (civil society), dan pasar (market) yang diakui luas sebagai trias politica baru di era globalisasi dewasa ini. Dalam praktik, hukum dan peradilan belum ditempatkan di tengah-tengah dalam dinamika hubungan antara ranah kekuasaan untuk menjaga keseimbangan yang adil antara kepentingan-kepentingan negara, masyarakat, dan pasar itu. Para sarjana ekonomi dan bahkan sarjana hukum ekonomi juga belum merasa penting untuk membahas aspek-aspek konstitusional kebijakan ekonomi dan aspek-aspek konstitusional hukum-hukum ekonomi dalam teori dan praktik. Dapat dikatakan, di Indonesia dewasa ini, baru ada satu buku ekonomi yang mengaitkan diri dengan konstitusi, yaitu buku yang ditulis dan diterbitkan oleh Tim Sugeng Sarjadi Syndicate dengan judul “Ekonomi Konstitusi”. Judul itupun diberikan oleh Sugeng Sarjadi setelah berdiskusi dengan saya beberapa kali mengenai pentingnya gagasan konstitusi ekonomi itu.
Saya juga ingin menunjukkan dalam buku ini bahwa di seluruh dunia, wacana tentang konstitusi ekonomi itu sendiri dapat dikatakan memang masih baru. Namun, usaha untuk mengaitkan konstitusi dengan perekonomian di berbagai negara sebenarnya sudah dimulai sejak lama. Soviet-Russia yang bersifat komunis sejak tahun 1918 sudah mencantumkan pasal-pasal perekonomian itu dalam rumusan undang-undang dasarnya. Jerman yang menganut paham liberal, juga sudah mengadopsikan ide pengaturan prinsip-prinsip kebijakan ekonomi itu dalam undangundang dasar sejak Konstitusi Weimar 1919. Itu sebabnya, Jerman lah yang dianggap sebagai negara pertama yang menganut paham sosdem atau sosial demokrat di Eropah Barat, sedangkan Soviet-Russia merupakan negara sosiailis-komunis pertama di Eropah Timur. Tradisi untuk melakukan konstitusionalisasi kebijakan ekonomi itu dikembangkan pula secara lebih luas oleh Irlandia dalam Konstitusi Tahun 1937 dengan memperkenalkan konsep „Directive Principles Social Policy” of (DPSP) yang kemudian ditiru oleh banyak negara non-komunis.
Selain mengenai ketiga negara itu, buku ini juga memperlihatkan gejala umum mengenai wacana konstitusi itu di semua kelompok negara, baik berdasarkan geografis maupun berdasarkan anutan ideologi dan sistem politik. Semua itu, saya jadikan bahan perbandingan untuk memahami konstitusi negara kita sendiri, yaitu UUD 1945 yang saya sebut bukan saja sebagai konstitusi politik, tetapi juga konstitusi ekonomi, dan bahkan konstitusi sosial. Pada kesempatan ini saya belum membahas tentang konstitusi sosial. Buku ini hanya memusatkan perhatian pada fenomena konstitusi ekonomi dengan menguraikan aspek-aspek UUD 1945 sebagai konstitusi ekonomi. Isi buku terdiri atas delapan bab, yaitu (I) Kedudukan Konstitusi dalam Penyelenggaraan Negara, (II) Wacana Konstitusi Ekonomi, (III) Konstitusi Ekonomi Pelbagai Negara, (IV) Konstitusi Ekonomi Indonesia Sebelum Reformasi, (V) Konstitusi Ekonomi Indonesia Pasca Reformasi (UUD 1945), (VI) Mahkamah Konstitusi dan UU tentang Perekonomian, (VII) Realisme dan Konstitusionalisme Kebijakan Ekonomi, dan (VIII) Simpulan dan Penutup.
Dalam keseluruhan bab tersebut, saya ingin menunjukkan bahwa konstitusi sebagai hukum tertinggi haruslah dijadikan acuan dan rujukan dalam setiap upaya pengembangan kebijakan ekonomi. Namun demikian, tentu saja, agar pernyataan normatif ini tidak menakutkan bagi para ekonom dan penentu kebijakan ekonomi, dapat dikemukakan juga bahwa konstitusi itu sendiri bukanlah hanya sekedar seonggok kata-kata yang mati. Kita tidak hidup untuk konstitusi, sebaliknya konstitusi itu sendiri kita buat untuk kehidupan kita, yaitu untuk mewujudkan dan mencapai cita-cita hidup bersama dalam satu wadah negara Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat, adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Karena itu, upaya memahami isi konstitusi itu sendiri juga tidak boleh terbatas hanya kepada teks formalnya. Pemahaman terhadap aturan-aturan konstitusi harus pula mempertimbangkan aspekaspek kontekstualnya secara materiel. Bahkan, metode-metode penafsiran konstitusi itu sendiri tersedia cukup banyak dan bervariasi, tidak hanya terbatas pada metode penafsiran tekstual saja, seperti penafsiran teleologis, penafsiran futuristik, metode penafsiran historis, dan lain-lain sebagainya.
Di samping melalui penafsiran, perubahan makna aturan-aturan konstitusi juga dapat terjadi karena perubahan riel di lapangan. Suatu kata yang dituangkan dalam undang-undang dasar 1 abad yang lalu dapat mengandung makna yang berubah menjadi semakin luas pada saat ini. Demikian pula suatu pengertian yang terkandung dalam satu kata yang kita pahami sekarang, dapat saja berubah cakupan maknanya pada abad yang akan datang. Dengan demikian, perkataan yang sama dalam konstitusi di waktu yang berbeda, dapat saja mengandung makna yang berubah sesuai dengan perkembangan kebutuhan praktik di lapangan menurut ruang dan waktu yang berbeda. Inilah yang disebut sebagai konvensi dalam hukum tata negara. Konvensi itu sepanjang diterima sebagai kenyataan yang baik dan tidak dipersoalkan oleh pihakpihak yang terlibat kepentingannya dalam praktik di lapangan dapat diakui sebagai sumber hukum konstitusi yang sama kuatnya dengan teks konstitusi. Karena itu, jika kita mendapati ada pasal-pasal yang menurut pertimbangan keadaan dinilai sudah tidak lagi sesuai dengan kebutuhan zaman, maka pasal-pasal tersebut dapat saja diubah dengan tiga kemungkinan cara, yaitu: (i) formal amendment, (ii) constitutional conventions, atau pun dengan cara (iii) constitutional interpretation sebagaimana mestinya.
Pendek kata, dengan buku “Konstitusi Ekonomi” ini, saya ingin mengajak para sarjana, khususnya para sarjana hukum, sarjana ilmu politik, dan sarjana ekonomi untuk menyadari pentingnya memahami UUD 1945 sebagai dokumen ekonomi atau sebagai konstitusi ekonomi. Sekiranya buku ini masih memuat banyak kekurangan, saya undang mereka untuk berpartisipasi dalam kajian lebih mendalam atas masalah ini. Menurut saya, buku yang secara khusus membahas mengenai „konstitusi ekonomi? dalam konteks hukum domestik, sama sekali belum ada di seluruh dunia. Yang ada baru buku ini. Jika kita searching di internet dengan entri economic constitution, niscaya jumlah data yang keluar juga masih sangat sedikit. Kalaupun ada, maka istilah economic constitution, itu sebagian terbesar berkaitan dengan fenomena integrasi ekonomi di Uni Eropah ataupun hal-hal lain yang tidak berkaitan dengan pengertian-pengertian domestik yang saya bahas dalam buku ini. Namun demikian, tidak ada salahnya seorang sarjana hukum Indonesia merintis jalan ke arah studi yang lebih serius mengenai soal ini.
Memang benar, sudah mulai ada sarjana-sarjana di Amerika dan Eropah yang menggunakan istilah „economic constitution? itu dalam karya-karyanya. Akan tetapi, istilah-istilah itu dapat dikatakan baru berkembang sejak tahun 1990-an dalam lingkungan yang sangat terbatas. Saya sendiri juga pertama kali menggunakan istilah ini dan memperkenalkan wacana konstitusi ekonomi itu dalam disertasi saya di Universitas Indonesia pada tahun 1990-1991. Karana itu, saya percaya para sarjana hukum, sarjana ekonomi, dan sarjana ilmu politik yang lebih muda dapat meneruskan rintisan-rintisan ini. Demikian pula rintisan yang saya prakarsai dengan menulis dan menerbitkan buku saya yang sebelumnya, yaitu “Green Constitution” (Rajagrafindo, 2009). Kedua buku ini, dapat dikatakan merupakan karya rintisan, bukan hanya untuk Indonesia, tetapi juga untuk ilmu pengetahuan di dunia. Saya percaya, di tangan para pemikir generasi selanjutnya, studi mengenai konstitusi ekonomi, konstitusi hijau, dan konstitusi sosial itu dapat terus dikembangkan di masa-masa mendatang.
Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.
Guru Besar Universitas Indonesia, Penasihat Komnas HAM, pendiri dan mantan Ketua Makamah Konstitusi Republik Indonesia (2003-2008), sekarang Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Republik Indonesia (DKPP-RI).
Sumber: jimly.com
Foto: Antara
Post a Comment
Post a Comment