"PDB” (Proses Destruksi dan Bencana): Angka yang Maha Kuasa dan Penundukan Ekonomi Negara

Judul:  Produk Domestik Bruto: Sejarah dan Realitas Politik di Balik Angka Pertumbuhan Ekonomi
Penulis: Lorenzo Fioramonti
Penerbit: Marjin Kiri
Tahun: Cetakan Pertama, November 2017
Tebal: i-xii + 220 halaman

PENDAHULUAN

Dari sudut ruang seminar hingga pidato kenegaraan, Produk Domestik Bruto (PDB) selalu digunakan sebagai indikator utama kemajuan sekaligus kesejahteraan sebuah negara. PDB menjelma sebagai mantra yang mendominasi pemberitaan di media massa dan perdebatan publik ketika berbicara tentang cara mencapai kemakmuran. Kekuatan dan “kuasa” negara-negara di dunia bahkan diurutkan berdasarkan jumlah PDB yang dimiliki. Tata kelola dunia berupaya dikendalikan dengan dibentuknya kelompok G8 dan G20 yang merupakan gabungan negara dengan PDB 8 besar dan 20 besar dunia.

Indonesia dengan jumlah PDB di tahun 2016 sebesar Rp 12.406,8 triliun menjadi negara dengan PDB terbesar ke-16 –sehingga bergabung dengan G20. Untuk mencapai visi Indonesia Emas di tahun 2045, pemerintah bahkan menargetkan Indonesia menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-4 di dunia. Untuk mencapai itu, PDB digunakan sebagai tolak ukur. Pemerintahan Jokowi berupaya menggenjot PDB Indonesia agar naik 10 kali lipat dan menembus angka Rp 120.000 triliun di tahun 2045.

Asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi sama artinya dengan kemajuan dan naiknya PDB menjadikan kehidupan lebih baik masih menjadi mantra yang dipercayai oleh para birokrat, politisi, akademisi, ekonom, hingga masyarakat arus-utama. Akan tetapi realita kehidupan yang kita alami tidak sesederhana itu. Pertumbuhan PDB yang melejit tinggi tidak berjalan beriringan dengan meningkatnya kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. PDB justru menjadi “angka yang maha kuasa” yang mengarahkan publik untuk menyembahnya dan menjalankan segala apa yang diinginkan, walaupun hasilnya jauh panggang dari api. PDB menyederhanakan komplekitas sosial menjadi angka-angka yang kering dan menekankan pada ekonomi pasar sembari mengabaikan kepentingan manusia, sosial, dan ekologi. PDB menghantarkan sebuah era kekayaan materi sembari menumbukan ketimpangan, pengurasan sumber daya alam, dan naiknya keresahan sosial (hal. 15).

Buku “Problem Domestik Bruto: Sejarah dan Realitas Politik di Balik Angka Pertumbuhan Ekonomi” yang ditulis oleh Lorenzo Fioramonti seorang profesor ekonomi-politik di University of Pretoria menarik disimak dalam melihat PDB secara jernih. Buku tersebut menelusuri sejarah PDB, membahas mengenai bagaimana rumusnya dikembangkan dan mengapa dia bisa menjadi populer. Fioramonti berupaya menunjukan kepentingan-kepentingan ekonomi politik utama di balik dukungan terhadap PDB dan tipe masyarakat yang turut dihasilkannya.

***

Kehadiran PDB sebagai alat ukur dan pedoman statistik ekonomi suatu negara hadir dan berubah dari peristiwa krisis ke krisis. PDB, atau pada awalnya disebut sebagai produk nasional bruto (PNB), diciptakan pada awal abad ke-20 semasa krisis ekonomi menghantam. Depresi besar 1930an telah mendesak para ekonom dan pembuat kebijakan di Amerika Serikat (AS) membangun sebuah metode yang sistematik untuk menguji kondisi perekonomian nasional dan kinerjanya dalam waktu tertentu (hal. 21).

Simon Kuznets[1] direkrut oleh pemerintah AS untuk menemukan metode statistik menghitung ekonomi negara, sehingga dengan itu pemerintah dapat melihat kondisi ekonomi hingga merubah proporsi-proporsi yang ada tanpa menciptakan resesi. Pemikiran Kuznets sangat sederhana: hasilkan serangkaian ukuran agregat yang mampu merangkum seluruh produksi ekonomi yang dihasilkan perorangan, perusahaan, dan pemerintah ke dalam angka tunggal (hal. 31). Hasil penghitungan ekonomi tersebut, begitu berguna bagi AS saat menghadapi perang Dunia II yang berlangsung pada tahun 1939 – 1945. Kuznets dan Nathan di War Production Board membantu mengidentifikasi keseimbangan antara tujuan mobilisasi militer (membuat dan membeli perlengkapan perang) dengan kebutuhan untuk mempertahankan pertumbuhan konsumsi dalam negeri, sehingga menghasilkan sumber daya jangka panjang untuk menunjang perang (hal. 36). Fioramonti menilai atas indikator PNB itu yang membuat AS mampu mengoptimalkan kekuatan ekonomi dalam proses pertempuran bersenjata hingga memenangkan perang Dunia II.

Berakhirnya perang Dunia II, PNB menjadi alat ukur kinerja ekonomi yang populer namun penggunaannya masih terbatas pada negara kapitalis maju dan sekutunya. Sementara blok sosialis mempunyai metrik yang berbeda. Mereka menggunakan apa yang disebut sebagai “Produk Sosial Bruto” (PSB) yang diukur melalui total keluaran industri bruto, dan produk material neto, yaitu produk sosial bruto dikurangi konsumsi material oleh industri selama proses produksi. Setelah berakhirnya perang dingin, runtuhnya tembok berlin, dan bubarnya Uni Soviet, mekanisme PNB menjadi hegemoni baru.

Pada tahun 1991, PNB digantikan oleh PDB. Dari “nasional” menjadi “domestik”. PNB yang lama merujuk pada seluruh barang dan jasa yang diproduksi oleh penduduk suatu negara tertentu, tanpa memperhatikan apakah pendapatan tersebut dihasilkan di dalam atau di luar negeri. Sementara dengan PDB maka proses penghitungan yang dilakukan berubah signifikan dan sangat kuat tendensi politiknya. Melalui penghitungan PDB maka yang diukur adalah aktifitas ekonomi domestik di dalam negeri tanpa mempertimbangkan apakah porsi terbesar aktivitas tersebut dari perusahaan nasional atau asing. Misalkan perusahaan multinasional Freeport, Exxon, atau British Petroleum yang berekspansi ke Indonesia, maka aktivitas ekonomi yang dijalankan tiga perusahaan tersebut masuk dalam PDB Indonesia, walaupun keuntungan yang didapat di bawa pergi ke negara asal mereka masing-masing. Melalui penghitungan berdasarkan PDB, maka lonjakan ekonomi di banyak negara dunia ke-tiga tumbuh pesat karena ekonomi mereka didominasi investasi dari negara pusat kapitalisme. Bahkan abstraksi statistik tersebut menyembunyikan sebuah fakta mendasar: “Negara-negara Utara sedang mencuri sumber daya milik Selatan, dan menyebutnya keuntungan bagi Selatan” (hal. 51).

PDB mengukur nilai barang dan jasa yang dihasilkan dalam rentang waktu tertentu, biasanya setiap tiga bulan. Angka ini mengukur hasil produksi dari sudut pandang harga pasar dan bisa dilihat melalui rumus berikut: PDB = konsumsi + investasi + belanja pemerintah + ekspor – impor.

Pada pertengahan tahun 1990an PDB menancapkan hegemoninya sebagai parameter yang serba kuasa untuk memandu kemana roda ekonomi harus digerakan. Institusi Internasional seperti PBB, Uni Eropa, Bank Dunia, hingga IMF berperan besar dalam mempromosikan ide ini. Fioramonti menyebut upaya menginternalisasi PDB ini ke negara-negara miskin dilakukan dengan paksaan (hal. 54). Namun Fioramonti tidak menjelaskan bagaimana metode pemaksaan penerapan PDB ini dilakukan.

***

Setelah menjelaskan tentang apa itu PDB dan proses historis serta mekanisme seperti apa yang membuatnya menghegemoni, kali ini kita sampai pada pertanyaan tentang siapa yang diuntungkan dari penggunaan parameter PDB ini? dan apa implikasinya?

Pembahasan tentang dua pertanyaan di atas adalah kelemahan pertama dalam buku “Problem Domestik Bruto” yang ditulis Lorenzo Fioramonti. Buku ini banyak berbicara tentang ekonomi dalam konteks makro dan perdebatan politik yang terkait tentang PDB, namun sedikit sekali menjelaskan tentang kelas sosial mana yang meraup keuntungan dan yang dirugikan darinya.

Fioramonti menjelaskan bahwa mantra PDB ini membuat negara Dunia Selatan kehilangan sumber daya karena dicuri oleh negara Dunia Utara tetapi tidak menekankan tentang apakah dengan kondisi seperti itu lantas menjadikan masyarakat negara Dunia Selatan semua merugi dan sengsara? Apakah masyarakat Negara Dunia Utara menjadi sejahtera akibat hasil curian itu? Lantas mengapa di bab-2 Fioramonti menjelaskan bahwa naiknya PDB tidak selaras dengan naiknya kesejahteraan di negara Dunia Utara seperti AS?

Analisis geografis negara dunia utara-selatan, maju-berkembang, dan pusat-pinggiran telah menyekat analisa ekonomi politik dari Lorenzo Fioramonti. Buku ini kurang menjelaskan posisi-posisi kontradiktif antara kelas sosial dalam batas negara atau dalam skala global.

Pertumbuhan PDB Indonesia yang melonjak tinggi sejak dua dekade terakhir justru berjalan beriringan dengan proses yang destruktif dan terjadinya bencana sosial. Kondisi itu tidak merugikan semua masyarakat. Di balik kerugian tersebut ada yang meraup keuntungan dan cukup nyaman dengan posisi itu. Para kapitalis dan kapitalis-birokrat melanggengkan mantra PDB dalam setiap proses kebijakan karena dengan mekanisme itu karpet merah bagi akumulasi kapital digelar. Atas nama pertumbuhan ekonomi rezim pemerintahan di Indonesia memberikan berbagai kemudahan bagi proses investasi.

Kelas pekerja menjadi korban utama dari jampi-jampi pertumbuhan ekonomi ini. PDB memperbesar dirinya melalui penghancuran barang-barang non-pasar, karena secara endogen ia dimotori oleh penurunan secara gratis yang harus digantikan dengan pemakaian berbayar. Potensi sumber daya alam hingga manusia dieksploitasi untuk meningkatkan produksi. Sihir tentang cara hidup konsumtif dalam lingkaran pasar bebas dikumandangkan agar roda ekonomi terus berputar dan hantu-hantu resesi untuk sementara dapat dipinggirkan.

Hasil dari proses itu adalah ancaman dan kerusakan terhadap ekosistem penopang kehidupan serta melambungnya kesengsaraan. Demi mengejar target peningkatan PDB maka petani di Pegunungan Kendeng Utara, Kulonprogo, dan Sukamulya terancam akibat proyek pembangunan yang dicanangkan; para buruh dibayar dengan upah cukup rendah agar investasi besar berkenan singgah; bekas-bekas galian tambang menga-nga melahap ekosistem yang sebelumnya ada di atasnya; hutan dan lahan gambut diterabas demi investasi besar para pengusaha sawit; dan juga contoh yang lain.

Artinya ketika pemerintah berupaya mengerek PDB agar naik tinggi, maka proses kerusakan lingkungan dan rendahnya taraf hidup rakyat akan semakin meningkat pula.

Proses itu membawa keuntungan besar bagi para elit politik dan elit ekonomi. Di Indonesia kekayaan 4 orang terkaya setara dengan kekayaan 100 juta penduduk termiskin (DW, 23/02/17). Sementara 1% orang terkaya dunia menguasai 50,1% kekayaan dunia atau naik 45,5% sejak 2001 (Republika, 15/11/17). Thomas Piketty dalam bukunya “Capital in the Twenty First Century” (2014) juga menunjukan bahwa kekayaan para konglomerat naik cukup tajam paska diterapkan sistem ekonomi neoliberalisme yang turut menopang mantra PDB sejak tahun 1980an hingga sekarang. Di sisi yang lain negara Dunia Utara seperti AS yang PDB per kapitanya naik dua kali lipat sejak perang Dunia II hingga awal 1990an tidak ada bukti empiris apa pun terhadap kenaikan kesejahteraan masyarakat (hal. 86). Kelas pekerja di AS turut mengalami kondisi yang memburuk di negara dengan PDB terbesar di dunia itu dan semakin memburuk paska krisis ekonomi yang menghantam pada tahun 2007/2008.

***

PDB tidak hanya sebatas deretan angka, pertumbuhan ekonomi bukan hanya sebatas prosentase, keduanya mewakili sebuah bahasa yang mengejawantahkan cara kerja ekonomi dalam suatu negara. Pada faktanya PDB menjadi bagian dari “sindrom frankenstein”. Dia bermimpi tentang kehidupan yang menjadi lebih baik, setelah terbangun, maka keindahan mimpi itu lenyap. Bentuk kebaikan dalam alam mimpi ternyata menjelma menjadi monster yang begitu menakutkan yang telah menjadi bagian dari kerusakan alam, melebarnya ketimpangan, menurunnya tingkat kesejahteraan, dan kondisi sosial yang semakin memburuk.

PDB juga memiliki fungsi sebagai statistical laundry (pemutih statistik) yang menutupi meningkatnya ketimpangan, sebuah proses yang jamak ditemui di negara dengan pertumbuhan PDB tinggi (hal. 67). Melalui peningkatan PDB pemerintah dapat membusungkan dada sambil berkata bahwa altar kemajuan dan kesejahteraan sudah di depan mata, namun menutup rapat-rapat hasil destruktif dari PDB itu. Maka tak perlu disangsikan bahwa popularitas neraca pendapatan nasional telah menguntungkan seluruh industri yang menghasilkan polusi dan menguras sumber daya alam, karena PDB menggambarkan tindakan-tindakan tersebut sebagai kemajuan ekonomi (hal. 101).

Sedari awal sudah dijelaskan cara kerja dan hasil capaian dari PDB yang begitu buruk, kemudian adakah alternatif lain dari PDB? Dan mampukah alternatif itu membawa kehidupan yang lebih baik?

Lorenzo Fioramonti menjelaskan dengan cukup dalam di dua bab terakhir bukunya tentang upaya untuk menggulingkan hegemoni PDB dan alternatif lain yang mencoba dibangun. Usaha merevisi PDB pertama kali berupaya dilakukan  oleh William Nordhaus dan James Tobin pada 1971 dengan mengembangkan indeks yang disebut Measure of Economic Welfare (MEW) (hal. 110). Day dan Cobb menawarkan rancangan mereka yaitu Index of Sustainable Economic Welfare (ISEW) dan pada pertengahan 1990an diganti menjadi Genuine Progress Index (GPI). Sejak tahun 2000an Social Watch menerbitkan apa yang disebut sebagai Basic Capabilities Index (BCI) dan Legatum Institute sejak 2007 menerbitkan Prosperity Index yang mencakup 110 negara (hal. 117).

Paska krisis ekonomi di tahun 2007/2008 yang melanda AS dan Eropa, tingkat kepercayaan terhadap mantra PDB di negara-negara itu mulai mencapai titik nadir. Institusi Internasional yang sebelumnya cukup getol mempromosikan dan memaksakan cara kerja PDB mulai berganti posisi untuk turut mengkritisinya. Itu dilakukan oleh PBB (UNDP), Bank Dunia, OECD, hingga IMF. Mereka mempertanyakan ulang PDB dan kemudian mengkritisinya karena dinilai tidak mampu menjadi pedoman utama. Di Bab 3 Fioramonti menjelaskan tentang dinamika itu akan tetapi tidak sampai untuk mencari tahu faktor kepengaturan seperti apa yang melatarbelakanginya.

Di bagian terakhir bukunya Fioramonti menjelaskan tentang upaya perubahan yang di dorong dari bawah (trickle up) seperti dengan penciptakaan mata uang lokal untuk memangkas PDB dan gagasan tentang “degrowth”. Gagasan degrowth ini menolak PDB secara keseluruhan dan menawarkan proses ekonomi dengan menurunkan skala produksi dan konsumsi demi meningkatnya kesejahteraan manusia dan kondisi ekosistem yang semakin membaik (hal. 169).

Tawaran alternatif yang dijelaskan dalam buku ini masih belum keluar dari cara kerja sistem kapitalisme. Fioramonti mengabaikan bahwa PDB menjadi “proses destruktif dan bencana” dalam sistem ekonomi yang bertumpu pada produksi komoditi, akumulasi primitif, dan pasar bebas seperti sekarang ini. Sehingga selain mencari alternatif terhadap PDB yang tidak kalah penting adalah mencari dan memperjuangkan alternatif lain dari kapitalisme.

PENUTUP

PDB dibangun di atas dusta besar. Dusta itu berkata kepada kita bahwa peningkatan PDB dan pertumbuhan ekonomi menjadi mekanisme satu-satunya dan utama untuk meraih kesejahteraan. Realita sosial yang ada memberi petunjuk kepada kita bahwa yang terjadi adalah sebaliknya. PDB menjadi mekanisme pengorganisiran ekonomi dari para elit untuk menundukan negara sehingga menyetujui setiap mantra “angka yang maha kuasa” yang diucapkan. Mantra PDB itu tidak sepenuhnya merugikan. Namun ada kelas yang diuntungkan. Mereka adalah kelas atas. Sementara kelas pekerja menjadi pihak yang sangat dirugikan atas proses itu.

[1] Kuznets lahir pada tahun 1901 semasa kekaisaran Rusia dan menghabiskan masa kecilnya di bawah era Tsar. Pada masa remaja Kuznets bersimpati pada gerakan Menshevik yang diilhami oleh pendekatan reformis dalam Marxis dan menentang politik radikal yang diusung oleh Partai Bolshevik yang waktu itu dipimpin oleh Lenin. Saat revolusi Oktober 1917 meletus, Kuznets dan keluarganya mengungsi ke AS melalui Turki dan di sana dia melanjutkan studi doctoral di Colombia University (hal. 28-29).

Oleh: Arif Novianto in Resensi Buku November 16, 2017
Sumber: /mapcorner.wg.ugm.ac.id