Misteri Penetapan 17 Agustus 1945

Untuk mengakhiri perang dunia ke-2, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945. Tiga hari kemudian, 9 Agustus 1945, Nagasaki kena giliran. Setelah Nagasaki dan Hirosima luluh lantak, tanggal 14 Agustus 1945 Jepang mau tak mau menyatakan menyerah kepada Sekutu, dan perang dunia ke-2 pun berakhir.

Di hari-hari yang kritis itu, Korea menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 15 Agustus 1945, kemudian disusul Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Kedua negara ini sama-sama dijajah Jepang. Jika mereka terlambat menyatakan kemerdekaan, maka boleh jadi akan menjadi jajahan Sekutu, setelah pasukan Jepang ditarik dari negara jajahan mereka. Kenapa Indonesia merdeka tanggal 17, bukan tanggal 15 sebagaimana Korea atau tanggal 16? Tulisan ini mencoba menelisik berbagai pergolakan yang terjadi sesaat sebelum kemerdekaan Indonesia.

Soekarno Sowan Ke Empat Ulama Sufi


Kurang lebih 5 bulan sebelum kemerdekaan RI, Soekarno sowan kepada 4 ulama sufi, yakni Syeikh Musa Sukanegara (Ciamis), KH Abdul Mu’thi (Madiun), Sang Alif atau R. Sosrokartono (Bandung), dan KH Hasyim Asy’ari Tebuireng Cukir (Jombang).

Dari pertemuan itu, Soekarno mendapatkan informasi, “Tidak lama akan ada berkat rahmat Allah besar turun di Indonesia, di bulan Ramadhan, tanggal 9 (penanggalan Islam), tahun 1364 H, hari Jumat Legi, bila meleset harus menunggu 300 tahun lagi”. Tanggal 9 Ramadhan 1364 H bertepatan dgn 17 Agustus 1945. Fakta ini diungkapkan oleh Kyai Moch. Muchtar bin Alhaj Abdul Mu’thi di Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah di Losari, Ploso, Jombang, Jawa Timur. [1]

Jika dirunut kejadiannya, 5 bulan sebelum bulan Agustus adalah bulan Maret, dimana tanggal 1 Maret 1945 adalah tanggal pendirian BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), dimana Soekarno menjadi salah satu anggotanya. Dengan demikian, timbul dugaan kuat, bahwa niat Soekarno menemui empat ulama sufi itu adalah dalam rangka mempersiapkan diri menjelang rapat-rapat di BPUPKI.

Dari fakta ini jelas bahwa Soekarno telah mengantongi tanggal kemerdekaan Indonesia beberapa bulan sebelum kejadian. Sebagai seorang santri, Soekarno tahu bahwa rahasia langit itu tidak boleh diperbincangkan dengan banyak orang. Sikap, tindakan, dan perkataan Soekarno menjelang peristiwa kemerdekaan memperlihatkan bahwa Soekarno adalah seorang santri yang mampu memelihara amanat.

Undangan Ke Saigon


Pada tanggal 7 Agustus 1945, Jepang membubarkan BPUPKI dan kemudian membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mempercepat kemerdekaan Indonesia. Terpilih sebagai ketua, Ir. Soekarno dan wakil ketua Drs. Mohammad Hatta.

Tanggal 8 Agustus 1945, sebagai pimpinan PPKI yang baru, Soekarno, Hatta dan Radjiman Wedyodiningrat (Ketua BPUPKI) diundang ke Dalat untuk bertemu Marsekal Hisaichi Terauchi. Mereka bertiga meninggalkan Jakarta, pukul lima pagi, untuk memulai sebuah penerbangan yang berbahaya. Mereka diantar Letnan Kolonel Nomura dan Miyosi sebagai penerjemah dengan 20-an perwira Jepang yang lain.

Rombongan ini baru bisa bertemu dengan Marsekal Hisaichi Terauchi pada tanggal 12 Agustus 1945 pukul 10 pagi. Kepada ketiga tokoh pergerakan Indonesia, Terauchi memberitahukan bahwa Pemerintah Jepang sudah memutuskan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. “Kapan pun bangsa Indonesia siap, kemerdekaan boleh dinyatakan.”, kata Terauchi. Meskipun demikian, Pemerintah Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus.

Bung Karno sempat menanyakan, “Apakah sudah boleh bekerja sekitar 25 Agustus 1945?” Dengan santai, Terauchi menjawab, “Silakan saja, terserah tuan-tuan.” [2]

Desakan Chaerul Saleh dkk


AM Hanafi, tokoh Angkatan ’45 dan mantan dubes RI di Kuba, dalam buku Menteng 31 menulis, Tanggal 14 Agustus 1945 pukul 15.00 beberapa pemuda radikal berkumpul di sebuah pekarangan yang banyak pohon pisangnya, tidak jauh dari lapangan terbang Kemayoran. Mereka adalah Chaerul Saleh, Asmara Hadi, AM Hanafi, Sudiro, dan SK Trimurti. Kami menantikan kedatangan Bung Karno dan Bung Hatta dari Saigon. [3]

Chaerul Saleh segera menghadang Bung Karno dan Bung Hatta yang baru datang dari Saigon dan hendak masuk mobilnya. Dia mengatakan, ”Proklamirkan kemerdekaan sekarang juga.” Bung Karno menyikapi hal ini dengan mengatakan, ”Kita tidak bisa bicara soal itu di sini. Lihat itu, Kempetai mengawasi kita.” Lalu ia masuk ke mobil, dimana Bung Hatta sudah berada di dalamnya.

Merasa tidak puas dengan jawaban Bung Karno, Chaerul Saleh mengumpulkan para pemuda dan mahasiswa di salah ruangan Lembaga Bakteriologi, di Pegangsaan Timur 17 (sekarang Fakultas Kesehatan Masyarakat UI) pada tanggal 15 Agustus 1945. Pada pukul 23.00 mereka memutuskan untuk mengutus Wikana dan Darwis mendatangi kediaman Bung Karno di Pegangsaan Timur 56 Cikini.

Wikana mendesak Bung Karno untuk memproklamasikan kemerdekaan tangal 16 Agustus 1945. Bung Karno menolak usulan ini dengan mengatakan bahwa ia dan Bung Hatta tidak ingin meninggalkan PPKI yang rencananya akan mengadakan rapat di Jakarta hari itu (16/8).

Mendengar penolakan itu, Wikana mengancam, ”Kalau Bung Karno tidak mau mengumumkan proklamasi, esok akan terjadi pertumpahan darah di Jakarta.” Bung Karno pun naik pitam, ”Ini batang leherku. Potonglah leherku malam ini juga.” Wikana terkejut melihat kemarahan Bung Karno itu, lalu undur diri. [3]

Peristiwa Rengasdengklok


Tanggal 16 Agustus 1945 sekitar pukul 04.00 WIB, Chaerul Saleh dengan beberapa pemuda mengetok pintu rumah kediaman Bung Karno. “Keadaan sudah memuncak. Kegentingan harus diatasi,” kata Chaerul kepada Bung Karno. “Orang-orang Belanda dan Jepang sudah bersiap menghadapi kegentingan itu. Keamanan Jakarta tidak bisa ditanggung lagi oleh pemuda dan karena itu supaya Bung Karno bersiap berangkat keluar kota,” tambahnya. [4]

Beberapa saat kemudian, Bung Karno masuk ke kamarnya. Kepada Fatmawati, Bung Karno mengatakan, para pemuda itu akan membawanya ke luar kota. Bung Karno saat itu sempat bertanya kepada istrinya itu, apakah ingin ikut bersamanya.

“Segera aku menjawab: Fat sama Guntur ikut. Ke mana Mas Pergi, di situ aku berada,” ucap Fatmawati seperti di kutip dari buku Fatmawati, Catatan Kecil Bersama Bung Karno. Setelah beberapa menit bersiap, mereka keluar rumah dimana sebuah sebuah sedan Fiat hitam kecil sudah menunggu. Di dalamnya, ternyata sudah ada Bung Hatta. [5]

Setiba di Rengasdengklok, sekali lagi para pemuda itu mendesakkan keinginan untuk merdeka secepatnya.

“Yang paling penting di dalam peperangan dan revolusi adalah saatnya yang tepat. Di Saigon, saya sudah merencanakan seluruh pekerjaan ini untuk dijalankan tanggal 17,” kata Bung Karno.

Mendengar pernyataan Bung Karno, Sukarni lantas bertanya. “Mengapa justru diambil tanggal 17, mengapa tidak sekarang saja?” tanya Sukarni.

Bung Karno lantas menjelaskan alasannya memilih tanggal 17 sebagai waktu memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

“Saya seorang yang percaya pada mistik. Saya tidak dapat menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat yang baik. Angka 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita sedang berada dalam bulan suci Ramadan, waktu kita semua berpuasa, ini berarti saat yang paling suci bagi kita. Tanggal 17 besok hari Jumat, hari Jumat itu Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat suci. Alquran diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia,” kata Soekarno [6].

Pada hari kamis 16 Agustus sekitar pukul 21.00 WIB, Sukarno dan Hatta kembali ke Jakarta, mempersiapkan proklamasi kemerdekaan.

Menjelang Proklamasi


Setiba di Jakarta, suhu tubuh Soekarno meninggi. Nampaknya penyakit malarianya kambuh. Meskipun demikian ia memilih untuk begadang bersama Mohammad Hatta, Ahmad Subardjo dan para tokoh lainnya merumuskan teks proklamasi hingga pagi.

Hari itu Soekarno tidak puasa. Setelah diberi obat oleh dokter pribadinya, Soeharto, ia tertidur nyenyak dan baru bangun setelah pukul 9.00, dalam keadaan badan masih kurang sehat, kepala pusing, otot-otot terasa nyeri, sementara keringat dingin mengucur dan suhu badan naik turun. Tetapi semangatnya yang pantang menyerah membuat ia bertahan. Bisa jadi salah satu pemicu semangatnya adalah pesan para kiai: “bila meleset harus menunggu 300 tahun lagi”.

Tepat pukul 10.00 WIB, Soekarno didampingi Hatta membacakan teks proklamasi dan dilanjutkan dengan pengibaran Sang Saka Merah Putih diiringi lagu Indonesia Raya. Upacara yang sederhana tetapi khidmat itu berlangsung di halaman rumah Soekarno. [7]

Penutup


Wujud rasa syukur para pendiri bangsa kepada Tuhan diwujudkan dalam sebuah kalimat dalam Pembukaan UUD 45: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”. Semoga kita sebagai generasi penerus bangsa tidak melupakan kejadian ini dan mampu mensyukurinya dengan mengisi kemerdekaan dengan pembangunan yang mensejahterakan bangsa dan meningkatkan pengabdian kepada Tuhan.

Sebagai penutup tulisan ini, mari kita simak dialog antara kiai dengan santrinya berikut ini:

Kiai : Marilah kita syukuri kemerdekaan indonesia itu. Pertama karena Tuhan berkenan untuk turut serta membidani kemerdekaan kita, dan yang kedua tanggal yang dipilih-Nya adalah 17 agustus, bukan 2 januari.
Santri : Kenapa kalau 2 januari Kiai?
Kiai : Kalau 2 januari, mungkin lambang negara kita bukan lagi garuda, tapi capung.
Santri : (nyengir)

CATATAN KAKI

[1] Soekarno Memilih 17 Agustus Setelah Sowan 4 Ulama Sufi http://www.dutaislam.com/2016/08/soekarno-memilih-17-agustus-setelah-sowan-4-ulama-sufi.html

[2] Aroma Merdeka dari Dalat http://www.republika.co.id/berita/koran/teraju/14/08/12/na6jd946-aroma-merdeka-dari-dalat

[3] Misteri di Balik Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 https://www.kaskus.co.id/thread/520c856519cb17f61a000003/misteri-di-balik-kemerdekaan-republik-indonesia-17-agustus-1945/

[4] Peristiwa Rengasdengklok: Penculikan atau Pengamanan? http://www.berdikarionline.com/peristiwa-rengasdengklok-penculikan-atau-pengamanan/

[5] Pelarian Rengasdengklok dan Susu Guntur Sukarno yang Tertinggal

[6] Alasan mistis Soekarno pilih 17 Agustus 1945 https://www.merdeka.com/peristiwa/alasan-mistis-soekarno-pilih-17-agustus-1945.html

[7] Fakta Mengejutkan, Ternyata Soekarno Sedang Sakit Malaria Saat Bacakan Teks Proklamasi http://jogja.tribunnews.com/2017/08/11/fakta-mengejutkan-ternyata-soekarno-sedang-sakit-malaria-saat-bacakan-teks-proklamasi

Foto: Garuda Pancasila dari situs Pikiran Rakyat